Kamis, 18 Maret 2010 di 15.38 Diposting oleh blog misteri 0 Comments

Sejarah kehidupan dibumi penuh oleh bencana alam dengan berbagai tingkat dan kekuatannya. Salah satu yang menangkap perhatian adalah kepunahan dinosaurus dan organisme lainnya sekitar 65 juta tahun yang lalu – ditengah-tengah periode Cretaceous dan Tertiary – yang memusnahkan sedikitnya setengah dari spesies yang ada. Bencana tadi, tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan bencana terbesar yang pernah ada : Bencana ini menghantam bumi 250 juta tahun silam, yang disebut kepunahan massal akhir-permian : suatu peristiwa fundamental bagi perkembangan kehidupan setelahnya.


Paleontologis menyebut peristiwa ini, “The Mother Of Mass Extinctions”. Sekitar 90% dari semua spesies yang ada dilautan hilang, didaratan hampir 2/3 spesies reptil dan amphibi punah. Serangga pun tidak lepas dari peristiwa pembantaian ini : hanya 30% dari spesies serangga yang selamat.

Akan tetapi, dari bencana besar tersebut datanglah suatu perubahan. Berjuta-juta tahun sebelum peristiwa akhir-permian, laut-laut dangkal didominasi oleh bentuk kehidupan yang secara keseluruhan tidak dapat berpindah tempat. Banyak binatang-binatang laut hanya tergeletak dilantai samudera atau menenpel pada inangnya, untuk menyaring air atau menunggu buruannya. Setelah adanya peristiwa tadi, yang dulu termasuk dalam kelompok-kelompok minor – ikan, cumi-cumi, siput, dan kepiting – mengalami perkembangan. Suatu garis keturunan baru yang kompleks muncul. Tata ulang ekologi ini sangatlah dramatis, yang menjadi titik tolak baru dalam sejarah kehidupan. Tidak hanya itu, peristiwa ini menandai berakhirnya periode Permian dan mengawali periode Triassic, ini juga menutup era Palezoik menjadi suatu awal bagi era Mesozoik.

Beberapa tahun yang lalu, ada penemuan menarik mengenai penyebab dan konsekuensi dari kepunahan massal akhir-permian ini, yang berpengaruh pada setiap cabang ilmu pengtahuan tentang bumi. Beberapa dari penemuan tadi termasuk didalamnya studi tentang perubahan singkat elemen-elemen kimia dilautan lewat suatu dokumentasi detail sisa-sisa kepunahan juga ada suatu analisa baru yang menunjukkan bahwa pernah terjadi erupsi gunung meletus diujung periode Permo-Triassic.

Bagaimana pengaruh peristiwa singkat ini pada suatu proses evolusi, yang sebagaimana kita tahu bahwa evolusi cenderung membutuhkan waktu lama untuk beradaptasi? Apakah organisme selamat karena kebetulan, atau mereka telah beradaptasi dengan baik pada peristiwa tersebut? Dan apakah organisme yang hidup sekarang memiliki bentuk yang berbeda dengan keadaannya sebelum kepunahan akhir-permian ini terjadi?

Hanya sedikit batuan yang tersisa

Untuk menjawab pertanyaan diatas, kita harus mempelajari dahulu lebih dalam tentang penyebab terjadinya bencana dan bagaimana cara spesies selamat dari bencana tersebut. Sumber utama untuk mendapatkan informasi ini berasal dari lapisan-lapisan pada batuan dan fosil. Sayangnya, sampel batuan dari akhir permian dan awal periode Triassic ini sangatlah sulit untuk didapatkan. Penurunan level samudera diakhir periode permian menyebabkan terbatasnya batuan-batuan laut (marine rocks) yang terendapkan didaratan.

Dan telah terbukti juga bahwa sangatlah sulit untuk mengetahui bagaimana kehidupan bisa hilang dengan cepat, yang ternyata keadaanya bervariasi pada tiap-tiap daerah. Beberapa makhluk hidup, khususnya yang sensitif terhadap perubahan lingkungan, akan langsung mati, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Erik Flugel dan koleganya, yang sampai pada kesimpulannya setelah mengamati berbagai batu karang yang berada di Cina Selatan dan Yunani. Bukti lain mengindikasikan adanya peristiwa bertahap terhadap pemusnahan kehidupan. Contohnya, saat mempelajari aneka ragam fauna yang terawetkan pada singkapan batugamping di Texas Selatan dan Arizona, salah seorang peneliti, Douglas H. Erwin, menemukan bahwa banyak dari spesies siput sebenarnya sudah mulai punah pada pertengahan periode Permian, jauh sebelum peristiwa kepunahan massal terjadi.

Studi intensif terhadap penemuan baru pada perlapisan batuan yang berada di Italia, Austria, dan Cina selatan sangat membantu kita untuk lebih memahami masalah ini. Penemuan tadi mengindikasikan bahwa durasi kepunahan ternyata lebih pendek daripada yang diperkirakan sebelumnya. Beberapa tahun yang lalu, peneliti percaya bahwa periode kepunahan ini terjadi dalam jangka waktu 5-10 juta tahun. Sekarang diketahui bahwa puncak bencana tadi bisa saja terjadi dalam waktu selama kurang dari 1 juta tahun.

Steven M. Stanley dari John Hopkins University memiliki satu teori yang mengatakan bahwa peristiwa kepunahan tersebut terdiri dari 2 (dua) episode, satu terjadi dipertengahan periode Permian dan kedua diakhir periode permian. Jin Yugan dari Institut Nanjing, samuel A. Bowring dari Institut Teknologi Massachussets dan Douglas H. Erwin dari Smithsonian Institution berkolaborasi bersama dalam suatu proyek untuk menentukan umur abu vulkanik didaerah Cina Selatan dan secepatnya mampu memberikan pemahaman lebih baik terhadap durasi jangka waktu peristiwa kepunahan ini terjadi.

Peristiwa bencana akhir-permian ini memusnahkan lebih banyak organisme makhluk hidup dibandingkan peristiwa lainnya. Kelompok organisme yang hidup menempel pada lantai samudera dan menyaring material organik untuk dijadikan nutrisi bagi kehidupannya adalah oganisme yang paling menderita dari peristiwa ini. Termasuk didalamnya binatang koral, brachiopoda, bryozoa, dan beraneka ragam echinoderma (lili laut). Yang lainnya adalah kelompok-kelompok binatang lau seperti trilobita, forminifera laut dangkal (sejenis zooplankton), dan ammonoid. Siput dan nautiloid yang juga berasal dari periode ini, hanyalah menderita dalam sebagian kecil saja.

Didaratan juga tidaklah lebih baik. Hewan-hewan bertulang belakang dan serangga sama-sama mengalami pemusnahan yang berarti. Diantara vertebrata, sebanyak 78% reptil dan 67% amphibi diperkirakan punah pada periode akhir-permian ini, meskipun seberapa cepatnya kepunahan ini terjadi masih diperdebatkan.

Kepunahan spesies serangga adalah yang paling besar pengaruhnya dalam transformasi fauna. Dari 27 ordo serangga yang diketahui hidup pada periode permian, 8 (delapan) punah diujung periode Permo-Triassic, 4 (empat) hampir saja punah namun menjadi normal kembali, dan 3 (tiga) dapat bertahan hidup melewati peristiwa ini, sebelum akhirnya punah. Ini hanyalah kepunahan serangga yang benar-benar telah teridentifikasi, dan menjadi sebuah catatan tentang tingkat severitas (keparahan) keadaan lingkungan pada masa ini.

Tanaman yang hidup didarat pun tidak luput dari kepunahan. Greg J. Retallack dari university of Oregon menunjukkan bahwa kepunahan tanaman jauh lebih dramatis lagi daripada yang diperkirakan sebelumnya (punahnya tanaman turut berkontribusi pada musnahnya serangga yang menjadikan tanaman sebagai makanannya)

Penyebab kepunahan

Setelah diberikan bukti fosil dari flora fauna, laut dan darat, jelas bahwa pada periode permian ini segalanya menjadi tak terkendali – setidaknya apabila tiap spesies berkehendak untuk tetap hidup. Apa yang menyebabkan pemusnahan besar itu terjadi? Tidak ada bukti tentang adanya tumbukan benda-benda luar angkasa, sebagaimana yang membunuh dinosaurus. Dipertengahan tahun 1980, ada satu perkumpulan ahli geologi yang menyatakan bahwa mereka telah menemukan jejak-jejak Iridium dalam jumlah kecil, yang menjadi indikator kuat adanya ledakan besar, pada perlapisan batuan dari periode Permo-triassic di Cina Selatan. Meskipun mereka sudah melakukan banyak cara, tidak ada yang benar-benar memperhitungkan pernyataan ini.

Tidak ada bukti kematian secara tiba-tiba, meskipun, satu kemungkinan adalah adanya bencana Vulkanik. Kunci dari pernyataan tadi ada disebuah daerah, yang disebut Siberian Traps, batuan disana terbentuk dari pembekuan lava kuno. Yang memiliki tebal antara 400 – 3.700 m. dan memiliki volume sedikitnya 1,5 juta km3, dan mungkin lebih besar lagi, karena terus meluas hingga ke pegunungan Ural. ( bila diperbandingkan, letusan gunung Pinatubo tahun 1991 hanya bagaikan sebuah tiupan, yang mengeluarkan abu tanpa magma. Mungkin perbandingan lebih baik yaitu dengan erupsi gunung Laki, Islandia pada tahun 1783, yang mengeluarkan 15 km3 lava)

Penanggalan radiometrik menyatakan bahwa seluruh lava di siberian traps berasal dalam jangka waktu kurang dari 1 juta tahun, atau barangkali hanya dalam 600.000 tahun, dari awal periode Permo-triassic. Paul R. Kenne dari pusat Geokronologi Berkeley menemukan bahwa angka perkiraan ini sesuai dengan umur erupsi besar lainnya, seperti yang menimbulkan endapan abu vulkanik di Cina Selatan.

Mungkinkah bencana vulkanik ini juga yang memyembur ke bumi diwaktu akhir-permian? Erupsi gunung meletus dikenal mempunyai banyak variasi efek jangka-pendek. Termasuk didalamnya pendinginan suhu yang disebabkan debu dan sulfat yang disemburkan k edalam stratosfer, hujan asam, gas beracun, dan peningkatan radiasi sinar ultraviolet dari terkikisnya lapisan ozon. Untuk jangka panjang, karbon dioksida yang dihembuskan ke udara bisa menuju pada penghangatan suhu bumi.

Hasil dari hipotesis ini, yang membunuh 90% spesies di samudera – sulit untuk diterima. Vulkanisme, bahkan yang sebesar dan sekuat yang membentuk Siberian Traps, masih belum cukup untuk menyebabkan peristiwa kepunahan massal ini terjadi. Thomas A. Vogel dari Michigan State University, ia meneliti serpihan-serpihan batu debu vulkanik dari erupsi gunung yang terjadi dalam jangka waktu 100 juta tahun yang lalu. Menemukan bahwa tidak ada satu pun kejadian erupsi gunung meletus ini yang benar-benar berakibat besar pada diversitas regional dan kehidupan global baik didarat maupun dilautan.

Dan lagi, kerusakan lingkungan yang dihasilkan oleh suatu erupsi sangat bergantung pada beberapa faktor. Banyak efek vulkanik, seperti jumlah sulfat yang disemburkan ke stratosfer, sulit untuk menjadi sebuah indikasi erupsi yang terjadi 250 juta tahun silam. Jadi, erupsi bisa saja berpengaruh dalam peristiwa kepunahan, namun hanya bagian dari sebuah proses yang lebih kompleks.

Geokimia dan Laut yang Tidak Stabil

Bukti baru yang paling menarik perhatian tentang kepunahan massal akhir-permian ini datang dari ilmu geokimia. Barangkali perubahan struktur geokimia adalah kunci yang paling relevan mengenai peningkatan rasio isotop karbon yang ditemukan di bebatuan (spesifiknya, rasio karbon-12 ke karbon-13). Fakta ini mengindikasikan, lebih banyak material organik yang terpendam selama periode akhir-permian dibandingkan periode-periode sebelumnya.

Meskipun karbon terpendam ini memberitahu kita sesuatu tentang perubahan struktur geokimia dimasa akhir-permian, hal ini belum sepenuhnya jelas. Bisa saja ada sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba, semisal penurunan mematikan level muka air laut. Dimasa awal-permian, benua tergabung menjadi satu membentuk superkontinent yang disebut Pangaea. Disekeliling benua, batu-batu karang dan komunitas laut-dangkal lainnya bermunculan. Beberapa juta tahun kemudian, didekat periode akhir-permian, level muka air laut turun. (tidak ada yang tahu jelasnya kenapa, tapi bisa saja disebabkan oleh perubahan struktur lapisan mantel bumi yang membentuk perluasan lantai samudera). Penurunan ini mengganggu habitat yang berada disekitar pantai. Semakin banyak tepi benua Pangaea yang terekspos, semakin besar pula erosi dan oksidasi material organik yang bisa terjadi. Oksidasi inilah yang menurunkan kadar oksigen dan meningkatkan kadar karbon dioksida di atmosfer, meningkatkan kelembapan udara menghangatkan bumi sebesar 2o Celsius.

Pengrusakan yang lebih besar lagi terjadi ketika level muka air laut kembali meningkat, mungkin beberapa ribu tahun setelahnya. Peningkatan muka air laut ini mengikis habitat yang berada disekitaran pantai dan naik menyapu ke daratan. Tidak diragukan bahwa intrusi air laut tersebut membunuh banyak komunitas pantai. Penurunan kadar oksigen diatmosfer juga menambah kondisi lingkungan yang telah berkembang tadi menjad lebih parah. sedikitnya jumlah oksigen juga menghantui samudera, menyebabkan Anoxia, yang mana dapat membuat pingsan organisme yang hidup disana. Bukti air yang ter-anoxia ini mencerminkan anomali geokimia. Beberapa peneliti membuat pernyataan mengesankan, meskipun tidak benar-benar menarik perhatian, alasan bahwa corak kepunahan diantara aneka ragam spesies mencerminkan kemampuan organisme bertahan dalam menangani anoxia.

Apa yang benar-benar menyebabkan kepunahan? Tidak mungkin hanya seperti sebutir peluru yang ditembakkan dan kehidupan langsung musnah, akan tetapi semua kemungkinan yang disebutkan diatas bisa saja turut berkontribusi. Sebuah ketidakberuntungan bagi flora fauna permian bila mereka harus berinteraksi pada semua kemungkinan tersebut pada waktu yang sama.

Peneliti percaya bahwa proses kepunahan terdiri dari 3 (tiga) fase. Pertama dimulai dengan penurunan level muka air laut, yang menghilangkan habitat disekeliling pangaea, ketidakstabilan iklim dan eliminasi dari spesies yang terdistribusi sempit. Semakin lanjut regresi samudera tadi, fase kedua dimulai, dengan erupsi vulkanik dan pelepasan karbon dioksida dalam jumlah besar ke atmosfer, yang menambah ketidakstabilan iklim dan menyebabkan keruntuhan ekologi. Peningkatan level muka air laut dan rentetan banjir yang mengandung air yang ter-anoxia (kekurangan oksigen) diakhir periode permian mengawali fase yang ketiga, hal ini merusak habitat darat disekitar pantai dan berkontribusi besar dalam kepunahan organisme yang membutuhkan oksigen bagi kehidupannya.

Kehidupan Setelah Kematian

Periode setelah peristiwa kepunahan akhir-permian sama menariknya dengan peristiwa kepunahan itu sendiri. Kehidupan mulai normal kembali berjuta-tahun setelahnya. Dalam hal ini, sepertinya, membutuhkan waktu sekitar 5 juta tahun ( ada kemungkinan lebih lama daripada yang diperkirakan, karena buruknya kondisi fosil-fosil yang berhasil diselamatkan). Dengan menyampingkan seberapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menjadi normal kembali, kehidupan dibumi berubah secara dramatis.

Seperti yang diawal disebutkan bahwa sebagian besar binatang yang tidak mampu berpindah tempat mendominasi lautan permian; brachipoda, bryozoa, dan echinoderma. Mereka tergeletak diam di dasar, menyaring air untuk mendapatkan makanan atau menunggu binatang buruan berenang mendekat. Binatang yang mampu berpindah tempat – ikan, cephalopoda (cumi-cumi dan kerabatnya) dan gastropoda (siput) – hanya membentuk sebagian kecil dari komunitas laut. Beberapa trilobita tetap bertahan tidak lama setelah peristiwa kepunahan terjadi, pada masa yang disebut survival stage of early Triassic, beberapa spesies yang bertahan lainnya berkecenderungan karena mereka tersebar luas dan jumlahnya banyak. Fauna diawal periode Triassic terdiri dari beberapa clam, ammonoid, dan beberapa gastropoda. Nenek moyang mamalia, yang menyerupai reptile, Lystrosaurus, vertebrata darat yang ditemukan diseantero Pangaea dan spesies clam Claraia yang mampu bertahan hidup disamudera. Ditengah periode Triassic, sekitar 25 juta tahun setelahnya, sea urchin (menyerupai bintang laut) dan kelompok-kelompok organisme lain yang sensitif terhadap perubahan lingkungan mulai bermunculan kembali, menandai awal kembalinya kondisi normal binatang-binatang laut. “Lazarus Taxa” (seperti yang oleh David Jablonski dari Universitas Chicago namakan untuk mereka, karena mereka kembali dari kematian) mulai bermunculan diantara fauna yang bertahan hidup.

Pada saat ini, lautan memiliki bentuk kehidupan yang hampir menyerupai samudera modern. Lebih banyak makhluk hidup yang dapat berpindah tempat, seperti siput, gastropoda dan kepiting, mendominasi. Kenakeragaman cephalopoda dan predator laut juga bermunculan. Sebuah kontes evolusi antara predator dan buruannya, membantu perubahan dalam arsitektur tubuh di era mesozoik, yang menyebabkan beragam fauna memiliki lebih banyak daging dibandingkan makhluk hidup yang ada di era paleozoik. Perubahan tersebut menghasilkan suatu ekosistem yang lebih kompleks dan lebih canggih – karena lebih banyak pilihan menu untuk dimakan,

Kita pun tahu, bahwa beberapa reptile dan kelompok amphibi akhirnya berangsur-angsur punah. Serangga pun mengalami perubahan bentuk menjadi variasi kelompok yang menyerupai “dragonfly”, memiliki sayap yang tidak dapat dilipat ketubuhnya. Bentuk baru ini, yang merupakan 98% dari serangga sekarang, juga memiliki stage terpisah antara larva dan dewasa. Adaptasi ini mencerminkan kemampuan untuk menumbuhkan habitat baru juga untuk bertahan menghadapi perubahan musim dan ketidakstabilan iklim.

Yang Cocok Akan Bertahan Hidup?

Fauna yang bertahan hidup, gampangnya karena mereka memiliki jumlah besar dan terdistribusi luas diseantero pangaea sebelum peristiwa kepunahan terjadi. Dengan begitu mereka memiliki kesempatan lebih besar untuk bertahan hidup. Alasan yang cukup kuat untuk membedakan antara yang selamat dan yang tidak selamat.

Satu hal yang pasti dapat dikatakan adalah bahwa kepunahan akhir-permian ini memiliki efek terbesar dalam sejarah kehidupan sejak bermunculannya flora dan fauna kompleks. Tanpa episode ini, mungkin bila kita melihat anak-anak kecil bermain dikolam, kita akan melihat mereka menangkap trilobita bukan menangkap ikan yang lewat. Dan kita akan lebih banyak belajar tentang crinoida dan brachiopoda dibandingkan belajar tentang bintang laut dan sea urchin.

sumber : reokta.wordpress.com/artefak-sejarah/

0 Responses so far.

Posting Komentar