A.1. Pengantar
Untuk menelusuri kapan gerangan nenek moyang orang
Minangkabau itu datang ke Minangkabau, rasanya perlu dibicarakan
mengenai peninggalan lama seperti megalit yang terdapat di Kabupaten
Lima Puluh Kota dan tempat-tempat lain di Minangkabau yang telah berusia
ribuan tahun.Di Kabupaten Lima Puluh Kota peninggalan megalit ini
terdapat di Nagari Durian Tinggi, Guguk, Tiakar, Suliki Gunung Emas,
Harau, Kapur IX, Pangkalan, Koto Baru, Mahat, Koto Gadan, Ranah, Sopan
Gadang, Koto Tinggi, Ampang Gadang.
Seperti umumnya kebudayaan
megalit lainnya berawal dari zaman batu tua dan berkembang sampai ke
zaman perunggu. Kebudayaan megalit merupakan cabang kebudayaan Dongsong.
Megalit seperti yang terdapat disana juga tersebar ke arah timur, juga
terdapat di Nagari Aur Duri di Riau. Semenanjung Melayu, Birma dan
Yunan. Jalan kebudayaan yang ditempuh oleh kebudayaan Dongsong. Dengan
perkataan lain dapat dikatakan bahwa kebudayaan megalit di Kabupaten
Lima Puluh Kota sezaman dengan kebudayaan Dongsong dan didukung oleh
suku bangsa yang sama pula.
Menurut para ahli bahwa pendukung
kebudayaan Dongsong adalah bangsa Austronesia yang dahulu bermukim di
daerah Yunan, Cina Selatan. Mereka datang ke Nusantara dalam dua
gelombang. Gelombang pertama pada Zaman Batu Baru (Neolitikum) yang
diperkirakan pada tahun 2000 sebelum masehi. Gelombang kedua datang
kira-kira pada tahun 500 SM, dan mereka inilah yang diperkirakan menjadi
nenek moyang bangsa Indonesia sekarang.
Bangsa Austronesia yang
datang pada gelombang pertama ke nusantara ini disebut oleh para ahli
dengan bangsa Proto Melayu (Melayu Tua), yang sekarang berkembang
menjadi suku bangsa Barak, Toraja, Dayak, Nias, Mentawai dan lain-lain.
Mereka yang datang pada gelombang kedua disebut Deutero Melayu (Melayu
Muda) yang berkembang menjadi suku bangsa Minangkabau, Jawa, Makasar,
Bugis dan lain-lain.
Dari keterangan tersebut di atas dapat
disimpulkan bahwa nenek moyang orang Minangkabau adalah bangsa melayu
muda dengan kebudayaan megalit yang mulai tersebar di Minangkabau
kira-kira tahun 500 SM sampai abad pertama sebelum masehi yang dikatakan
oleh Dr. Bernet Bronson. Jika pendapat ini kita hubungkan dengan apa
yang diceritakan oleh Tambo mengenai asal-usul orang Minangkabau
kemungkinan cerita Tambo itu ada juga kebenarannya.
Menurut sejarah
Iskandar Zulkarnain Yang Agung menjadi raja Macedonia antara tahun
336-323 s.m. Dia seorang raja yang sangat besar dalam sejarah dunia.
Sejarahnya merupakan sejarah yang penuh dengan penaklukan daerah timur
dan barat yang tiada taranya. Dia berkeinginan untuk menggabungkan
kebudayaan barat dengan kebudayaan timur.
Tokoh Iskandar Zulkarnai
dalam Tambo Minangkabau secara historis tidak dapat diterima
kebenarannya, karena dia memang tidak pernah sampai ke Minangkabau. Di
samping di dalam sejarah Melayu, Hikayat Aceh dan Bustanul Salatin Tokoh
Iskandar Zulkarnain ini juga disebut-sebut, tetapi secara historis
tetap saja merupakan seorang tokoh legendaris.
Sebaliknya tokoh
Maharajo Dirajo yang dikatakan oleh Tambo sebagai salah seorang anak
Iskandar Zulkarnain, kemungkinan merupakan salah seorang Panglima
Iskandar Zulkarnain yang ditugaskan menguasai pulau emas (Sumatera),
termasuk di dalamnya daerah Minangkabau. Dialah yang kemudian menurunkan
para penguasa di Minangkabau, jika kita tafsirkan apa yang dikatakan
Tambo berikutnya. Sayangnya Tambo tidak pernah menyebutkan tentang kapan
peristiwa itu terjadi selain ”pada masa dahulunya” yang mempunyai
banyak sekali penafsirannya.
Tambo juga mengatakan bahwa nenek moyang
orang Minangkabau dari puncak gunung merapi. Hal ini tidak dapat
diartikan seperti yang dikatakan itu, tetapi seperti kebiasaan orang
Minangkabau sendiri harus dicari tafsirannya, karena orang Minangkabau
selalu mengatakan sesuatu melalui kata-kata kiasan, ”tidak tembak
langsung”. Tafsirannya kira-kira sebagai berikut: Sewaktu Maharajo
Dirajo sedang berlayar menuju pulau emas dalam mengemban tugas yang
diberikan oleh Iskandar Zulkarnain, pada suatu saat dia melihat daratan
yang sangat kecil karena masih sangat jauh. Setelah sampai ke daratan
tersebut ternyata sebuah gunung, yaitu gunung merapi yang sangat besar.
Tetapi oleh pewaris Tambo kemudian gunung Merapi sangat kecil yang
mula-mula kelihatan itulah yang dikatakan sebagai tanah asal orang
Minangkabau. Selanjutnya cerita Tambo yang demikian, juga masih ada
sampai sekarang pada zaman kita ini.
Ada baiknya kita kutip apa yang
dikatakan Tambo itu sebagai yang dikatakan oleh Sang Guno Dirajo: ”…Dek
lamo bakalamoan, nampaklah gosong dari lauik, yang sagadang talua itiak,
sadang dilamun-lamun ombak…” (sesudah lama berlayar akhirnya
kelihatanlah pulau yang sangat kecil kira-kira sebesar telur itik yang
kelihatan hanya timbul tenggelam sesuai denga turun naiknya ombak).
Selanjutnya
dikatakan:”…Dek lamo - bakalamoan aia lauik basentak turun, nan gosong
lah basentak naiak, kok dareklah sarupo paco, namun kaba nan bak kian,
lorong kapado niniak kito, lah mendarek maso itu, iyo dipuncak gunuang
marapi…” (karena sudah lama berlayar dan pasang sudah mulai surut,
gosong yang kecil tadi makin besar, daratan yang kelihatan itu tak
obahnya seperti perca, maka dinamakanlah daratan itu dengan pulau perca
yang akhirnya didarati oleh nenek moyang kita yang mendarat kira-kira di
gunung merapi).
Peristiwa inilah yang digambarkan oleh mamangan adat
Minangkabau berbunyi “dari mano titiak palito, dari telong nan barapi,
dari mano asal niniak kito, dari puncah gunuang marapi” (dari mana titik
pelita dari telong yang berapi, dari mana datang nenek kita, dari
puncak gunung merapi). Mamangan adat ini sampai sekarang masih dipercaya
oleh sebagian besar masyarakat Minangkabau..
Bagi kita yang menarik
dari cerita Tambo ini bukanlah mengenai arti kata-katanya melainkan
adalah cerita itu memberikan indikasi kepada kita tentang nenek moyang
orang Minangkabau asalnya datang dari laut, (dengan berlayar) yang
waktunya sangat lama. Kedatangan nenek moyang inilah yang dapat
disamakan dengan masuknya nenek moyang orang Minangkabau. Dengan
demikian masuknya nenek moyang orang Minangkabau dapat diperkirakan
waktu kedatangannya: yaitu antara abad kelima sebelum masehi dengan abad
pertama sebelum masehi, sesuai dengan umur kebudayaan megalit itu
sendiri.
Kembali kepada permasalahan pokok pada bagian ini, maka
menurut Soekomo, tradisi Megalit pada mulanya merupakan batu yang
dipergunakan sebagai lambang untuk memperingati seorang kepala suku.
Sesudah kepala suku itu meninggal, akhirnya peringatan itu berubah
menjadi penghormatan yang lambat laun menjadi tanda pemujaan kepada
arwah nenek moyang.
Bagaimana dengan megalit yang terdapat di
Minangkabau? Barangkali fungsi pemujaan terhadap arwah nenek moyang
masih tetap berlanjut, seperti Menhir lainnya di Indonesia. Tetapi jika
kita hubungkan Menhir itu dengan kehidupan orang Minangkabau yang
berkaitan dengan Medan Nan Bapaneh, yaitu tempat duduk bermusyawarah
dalam masyarakat Minangkabau sudah mulai berkembang pada zaman pra
sejarah, khususnya di zaman berkembangnya tradisi menhir di Minangkabau
dan keadaan ini sudah berlangsung semenjak sebelum abad masehi.
Dari
peninggalan menhir dan keterangan-keterangan yang diberikan oleh pemuka
masyarakat sekarang di tempat-tempat menhir itu terdapat seperti di
Sungai Belantik, Andieng, Kubang Tungkek, Tiakat, Padang Japang,
Limbanang, Talang Anau, Padang Kandih, Balubus, Koto Tangah,
Simalanggang, Taeh Baruh, Talago, Ampang Gadang seperti yang dikatakan
oleh Yuwono Sudibyo, sebagai berikut:”Bahwa ketika sekelompok nenek
moyang telah menemukan tempat bermukim, yang pertama-tama ditetapkan
atau dicari adalah suatu lokasi yang dinamakan gelanggang. Di gelanggang
ini dilakukan upacara, yaitu semacam upacara selamatan untuk
menghormati kepala suku atau pemimpin rombongan yang telah membawa
mereka ke suatu tempat bermukim. Sebagai tanda upacara didirikanlah Batu
Tagak yang kemudian kita kenal sebagai menhir. Batu Tagak ini kemudian
berubah fungsi, sebahagian menjadi tanda penghormatan kepada arwah nenek
moyang dan sebahagian tempat bermusyawarah yang kemudian kita kenal
dengan nama Medan nan Bapaneh”.
Karena sudah ada kehidupan
bermusyawarah, sudah barang tentu pula masyarakat sudah hidup menetap
dengan berburu dan pertanian sebagai mata pencaharian yang utama. Hal
ini sesuai pula dengan kehidupan para pendukung kebudayaan Dongsong yang
sudah menetap. Jika sekiranya peninggalan-peninggalan pra sejarah
Minangkabau sudah diteliti dengan digali lebih lanjut, barangkali akan
ditemui peninggalan-peninggalan yang mendukung kehidupan berburu dan
bertani tersebut.
Diwaktu itu sudah dapat diperkirakan bahwa antara
Adat Nan Sabana Adat sudah hidup di tengah-tengah masyarakat
Minangkabau, mengingat akan ajaran adat Minangkabau itu sendiri, yaitu
Alam Takambang jadikan guru. Sedangkan Adat Nan Sabana Adat berisi
tentang hukum-hukum alam yang tidak berubah dari dahulu sampai sekarang
seperti dikatakan: Adat api mambaka, adat aia mamabasahi, adat tajam
malukoi, adat runciang mancucuak dan sebagainya (Adat api membakar, adat
air membasahi, adat tajam melukai, adat runcing mencucuk).
Demikian
juga dengan Adat Nan Diadatkan sudah ada waktu itu, yaitu sebagai hukum
yang berlaku dalam masyarakat. Barangkali di zaman inilah berlakunya apa
yang dikenal dengan hukum adat yang bersifat zalim dan tidak boleh
dibantah yaitu hukum adat yang bernama “Simumbang Jatuah” (simumbang
jatuh), mumbang kalau jatuh tidak dapat dikembalikan ke tempatnya lagi.
Selanjutnya juga ada hukum yang bernama “si gamak-gamak”, yaitu suatu
aturan yang tidak dipikirkan masak-masak. Disamping itu juga terdapat
hukum yang dinamakan “Si lamo-lamo” yaitu siapa kuat siapa di atas
persis seperti hukum rimba.
Barangkali hukum yang dinamakan “Hukum
Tariak Baleh” juga berlaku di zaman ini. Hukum Tariak Baleh hampir sama
dengan hukum Kisas dalam agama Islam, misalnya orang yang membunuh harus
di hukum bunuh pula.
Keempat macam hukum adat itu memang sesuai
dengan zamannya dimana belum terlalu banyak pertimbangan terhadap suatu
yang dihadapi dalam kehidupan. Sampai kapan berlakunya hukum ini mungkin
berlangsung sampai masuknya agama Islam pertama ke Minangkabau
kira-kira abad ketujuh.
Zaman Purba Minangkabau berakhir dengan
masuknya Islam ke Minangkabau, yaitu kira-kira abad ketujuh, dimana buat
pertama kali di Sumatra Barat sudah didapati kelompok masyarakat Arab
tahun 674. Kelompok masyarakat Arab ini sudah menganut agama Islam,
bagaimanapun rendahnya pendidikan waktu itu, tentu sudah pandai tulis
baca, karena ajaran Islam harus diperoleh dari Qur’an dan Hadist Nabi
yang semuanya sudah dituliskan dalam bahasa Arab. Dengan demikian
diakhir bahagian ketiga abad ketujuh itu zaman purba Minangkabau sudah
berakhir.
A.2. Zaman Mula Sejarah Minangkabau
Yang dimaksud
dengan zaman mula sejarah Minangkabau ialah zaman yang meliputi kurun
waktu antara abad pertama Masehi dengan abad ketujuh. Dalam masa
tersebut masa pra Sejarah masih berlanjut, tetapi masa itu dilengkapi
dengan adanya berita-berita tertulis tertua mengenai Minangkabau seperti
istilah San-Fo Tsi dari berita Cina yang dapat dibaca sebagai Tambesi
yang terdapat di Jambi. Di daerah Indonesia lainnya juga sudah terdapat
berita atau tulisan seperti kerajaan Mulawarman di Kutai Kalimantan dan
Tarumanegara di Jawa Barat. Namun dari berita-berita itu belum banyak
yang dapat kita ambil sebagai bahan untuk menyusun sebuah ceritera
sejarah, karena memang masih sangat sedikit sekali dan masing-masingnya
seakan-akan berdiri sendiri tanpa ada hubungan sama sekali. Untuk zaman
ini Soekomono memberikan nama zaman Proto Sejarah Indonesia, yaitu
peralihan dari zaman Prasejarah ke zaman sejarah.Berita dai Tambo dan
ceritera rakyat Minangkabau hanya mengemukakan secara semu mengenai hal
ini, yaitu hanya menyebutkan tentang kehidupan orang Minangkabau zaman
dahulu. Dalam hal ini Tambo mengemukakan sebagai berikut: ”…tak kalo
maso dahulu…”…(Diwaktu zaman dahulu),. ”…dari tahun musim baganti, dek
zaman tuka – batuka, dek lamo maso nan talampau, tahun jo musim nan
balansuang…” (Karena tahun musim berganti, karena zaman bertukar-tukar,
karena masa yang telah lewat, tahun dengan musim yang berlangsung),”…
Antah barapo kalamonyo…”(entah berapa lamanya), dari ungkapan waktu yang
demikian memang sulit sekali menentukan kapan terjadinya. Pengertian
zaman dahulu itu saja sudah mengandung banyak kemungkinan tafsiran dan
sangat relatif.
Barangkali kehidupan zaman mula sejarah Minangkabau
ini hampir sama dengan kehidupan pada zaman Pra sejarahnya, hanya saja
di akhir zaman mula sejarah ini agama Islam sudah masuk ke Minangkabau
dan sudah ada berita-berita dari Cina. Dapat dikatakan, bahwa cerita
sejarah untuk zaman mula sejarah Minangkabau ini sangat sedikit sekali,
bahkan dapat dikatakan merupakan zaman yang paling gelap dalam sejarah
Minangkabau. Demikian gelapnya untuk menghubungkan zaman Pra Sejarah
dengan zaman sejarahnya kita tidak mempunyai sumber sama sekali, bukan
lagi kabur, tetapi sudah gelap gulita.
A.3. Zaman Minangkabau
Timur
Istilah ini dipinjam dari istilah yang dikemukakan oleh Drs. M.
D. Mansoer dkk, dalam bukunya, Sejarah Minangkabau, dikatakannya
Minangkabau mengalami dua periode, yaitu periode Minangkabau Timur yang
berlangsung antara abad ketujuh sampai kira-kira tahun 1350 dan periode
Minangkabau Pagaruyung antara tahun 1347-1809.
Dikatakannya, bahwa
kerajaan-kerajaan lama, pusat perdagangan lada, pusat perekonomian,
politik dan budaya yang pertama timbul dan berkembang di Minangkabau
adalah di lembah aliran Batang Hari dan Sungai Dareh. Daerah itu
berkembang pada abad ke tujuh sampai pertengahan abad keempat belas.
Secara
geografis memang pantai timur pulau Sumatera lebih memungkinkan untuk
dilayari oleh kapal-kapal dagang yang dapat berlayar sampai masuk jauh
kepedalaman. Daerah pantai Sumatera Timur ini pulalah yangdahulu
didatangi oleh nenek moyang orang Minangkabau yang berlayar sampai ke
daerah Mahat di Kabupaten Lima Puluh Kota sebelah Utara.
Pedagang-pedagang Islam yang mula-mula ke Minangkabau juga melalui
daerah ini, sehingga perdagangan diwaktu periode Minangkabau ini menjadi
sangat ramai sekali, bukan itu saja, Islam pertama pun masuk dari sini,
baik yang dibawa oleh pedagang-pedagang dari Arab sendiri, maupun yang
dibawa oleh pedagang-pedagang dari Persia, Hindustan, Cina, India dan
lain-lain.
Pada permulaan abad Masehi perpindahan bangsa-bangsa dari
utara ke selatan telah berakhir. Mereka telah menetap di sepanjang
pantai kepulauan Nusantara. Setelah mereka menempati kepulauan Nusantara
dan hidup secara terpisah, akhirnya karena lingkungan alam kehidupan
bahasa yang mereka pergunakan pun mengalami perubahan seperti yang kita
kenal sekarang dengan suku-suku bangsa Minangkabau, Jawa, Bugis, Madura,
Sunda, Bali dan lain-lain.
Pada zaman purbakala, di Asia terdapat
dua jalan perdagangan yang ramai antara Barat dan Timur, yaitu melalui
darat dan laut, jalan yang melalui darat disebut jalan Sutera, mulai
dari daratan Cina melalui Asia Tengah sampai ke Laut Tengah. Perhubungan
darat ini sudah mulai semenjak abad kelima sebelum Masehi. Waktu
dimulainya perpindahan bangsa Melayu Muda ke arah selatan. Perhubungan
darat ini terutama menghubungkan antara Cina dengan Benua Eropah
(Romawi) diwaktu itu dibawah raja Iskandar Zulkarnain dan selanjutnya
dengan menyinggahi daerah sepanjang perjalanan seperti India, Persia dan
lain-lain.
Perhubungan laut ialah dari Cina dan Indonesia melalui
selat Malaka terus ke Teluk Persia dan Laut Tengah. Perhubungan laut ini
menjadi sangat ramai pada awal abad pertama Masehi, karena jalan darat
mulai tidak aman lagi. Sejak waktu itulah daerah-daerah di Pantai Timur
Sumatera dan Pantai Utara Jawa menjadi daerah perhubungan antara
perdagangan Arab, India dan Cina. Keadaan ini memungkinkan
pedagang-pedagang Indonesia, termasuk di dalamnya pedagang-pedagang
Minangkabau ikut aktif berdagang.
Dengan aktifnya pedagang-pedagang
Minangkabau dalam perdagangan dengan India, maka terbuka pulalah
perhubungan antara kebudayaannya. Dari sini dapat kita lihat masuknya
pengaruh Hindu ke Minangkabau melalui daerah pantai timur pulau
Sumatera. Dalam abad kedua setelah Indonesia mempunyai perhubungan
dengan India dan selama enam abad berturut-turut pengaruh Hindu di
Indonesia besar sekali.
Jadi karena keadaan, pedagang-pedagang
Minangkabau ikut terlibat dalam kancah lalu lintas perdagangan yang
ramai di Asia. Keadaan itu pulalah yang menyebabkan Minangkabau di
daerah aslinya sendiri yang jauh terletak di pedalaman.
Karena selat
Malaka sangat ramai dilalui oleh kapal-kapal dagang dari Cina dan India
maka salah satu bandar diselat itu bertumbuh dengan pesatnya sehingga
akhirnya umbuh menjadi kerajaan Melayu. Kerajaan Melayu ini menurut para
ahli berpusat di daerah Jambi yang sekarang dan diperkirakan berdirinya
pada awal abad ketujuh Masehi. Nama Melayu pertama kalinya muncul dalam
cerita Cina. Dalam buku Tseh Fu-ji Kwei diterangkan bahwa pada tahun
664 dan 665 kerajaan Melayu mengirimkan utusan kenegeri Cina untuk
mempersembahkan hasilnya pada raja Cina. Pada waktu itu daerah
Minangkabau merupakan daerah penghasil merica yang utama di dunia.
Rupanya
Minangkabau Timur tidak lama memegang peranan dalam perdagangan di
Selat Malaka, kareana sesudah muncul kerajaan Melayu dan kemudian
sesudah kerajaan Melayu jatuh di bawah kekuasaan Sriwijaya, Minangkabau
Timur menjadi bahagian dari kerajan Sriwijaya.
Dengan berdirinya
kerajaan Melayu dan kerajaan Sriwijaya kelihatan peranan Minangkabau
Timur tidak ada lagi, karena berita-berita dari Cina hanya ada menyebut
tentang Melayu dan Sriwijaya saja.
Dalam satu buku yang disusun oleh
It-Tsing dapat kita ketahui bahwa dalam tahun 690 Masehi, Sriwijaya
meluaskan daerah kekuasaannya dan kerajaan Melayu dapat ditaklukannya
sebelum tahun 692 Masehi.
Kerajaan Sriwijaya merupakan salah satu
kerajaan pantai, negara perniagaan dan perdagangan internasional dari
Asia Timur ke Asia Barat. Selama lebih kurang enam abad kerajaan
Sriwijaya merupakan kerajaan utama di daerah nusantara waktu itu. Namun
sementara itu di Jawa mulai timbul kerajaan-kerajaan baru yang
lama-kelamaan menjadi saingan utama dari kerajaan Sriwijawa dalam
merebut hegemoni perdagangan di wilayah nusantara yang menyebabkan
lemahnya Sriwijaya.
Dalam hal ini lawan kerajaan Sriwijaya yang utama
adalah kerajaan Kediri di Jawa Timur dan Kerajaan Colamandala di India
selatan. Dari kelemahan Sriwijaya itu, rupanya kerajaan Melayu dapat
melepaskan diri dari Sriwijaya dan dapat memperkuat diri kembali dengan
memindahkan ibu kota kerajaan ke daerah hulu Sungai Batang Hari.
Kerajaannya dinamakan dengan Darmasraya. Hal ini dapat diketahui dari
prasasti Padang Candi tahun 1286 yang terdapat di Sungai Langsat Si
Guntur dekat Sungai Dareh dalam Propinsi Sumatera Barat sekarang.
Pada
tahun 1275, Raja Kertanegara dari kerajaan Singosari (kerajaan yang
menggantikan kekuasaan Kediri di Jawa Timur) mengirimkan suatu ekspedisi
militer ke Sumatera dalam rangka melemahkan kekuasaan Sriwijaya dan
memperluas pengaruhnya di Nusantara. Ekspedisi ini dikenal dalam sejarah
Indonesia dengan nama ekspedisi Pamalayu.
Sebagai hasil dari
ekspedisi itu, maka Kertanegara pada tahun 1286 mengirimkan acara
Amogapasa ke Sumatera sebagai hadiah untuk raja dan rakyat kerajaan
Melayu. Dengan kejadian ini dapat diartikan, bahwa semenjak peristiwa
itu kerajaan Melayu sudah mengikuti kerajaan Singosari dan menjadi
daerah tumpuan untuk menghadapi kemungkinan serangan dari negeri Cina
akibat peristiwa penghinaan terhadap utusan Cina sebelumnya.
A.4.
Maharajo Dirajo
Dalam hal ini timbul suatu kontradiksi
keterangan-keterangan, yaitu nama Maharajo Dirajo sudah disebutkan
sebelumnya sebagai salah seorang panglima Iskandar Zulkarnain yang
tugaskan menguasai Pulau Emas. Kalau memang demikian keadaannya, lalu
bagaimana dengan Maharajo Dirajo yang sedang kita bicarakan ini yang
waktunya sudah sangat jauh berbeda. Dalam hal ini kita tidak dapat
memberikan jawaban yang pasti. Maharajo Dirajo yang sudah kita bicarakan
hanya merupakan perkiraan saja dan belum tentu benar. Tetapi
berdasarkan logika berfikir kira-kira diwaktu itulah hidupnya Maharajo
Dirajo jika dihubungkan dengan nama Iskandar Zulkarnain. Sedangkan
Maharajo Dirajo yang sedang dibicarakan sekarang ini adalah seperti yang
dikatakan Tambo Alam Minangkabau yang mana yang benar perlu penelitian
lebih lanjut. Dalam kesempatan ini kita hanya ingin memperlihatkan
betapa rawannya penafsiran dari data yang diberikan Tambo Alam
Minangkabau.
Maharajo Dirajo yang sekarang dibicarakan adalah
Maharajo Dirajo seperti yang dikatakan Tambo. Dalam hal ini kita ingin
mengangkat data dari Tambo menjadi Fakta sejarah Minangkabau.
Dalam
Tambo disebutkan bahwa Iskandar Zulkarnain mempunyai tiga anak, yaitu
Maharajo Alif, Maharajo Dipang, dan Maharajo Dirajo. Maharajo Alif
menjadi raja di Benua Ruhun (Romawi), tetapi Josselin de Jong
mengatakan, menjadi raja di Turki. Maharajo Dipang menjadi raja di
negeri Cina, sedangkan Maharajo Dirajo menjadi raja di Pulau Emas
(Sumatera).
Kalau kita melihat kalimat-kalimat Tambo sendiri, maka
dikatakan sebagai berikut: “…Tatkala maso dahulu, batigo rajo naiek
nobat, nan sorang Maharajo Alif, nan pai ka banua Ruhun, nan sorang
Maharajo Dipang nan pai ka Nagari Cino, nan sorang Maharajo Dirajo
manapek ka pulau ameh nan ko…” (pada masa dahulu kala, ada tiga orang
yang naik tahta kerajaan, seorang bernama Maharaja Alif yang pergi ke
negeri Ruhun, yang seorang Maharajo Dipang yang pergi ke negeri Cina,
dan seorang lagi bernama Maharajo Dirajo yang menepat ke pulau
Sumatera).
Dari keterangan Tambo itu tidak ada dikatakan angka
tahunnya hanya dengan istilah “Masa dahulu kala” itulah yang memberikan
petunjuk kepada kita bahwa kejadian itu sudah berlangsung sangat lama
sekali, sedangkan waktu yang mencakup zaman dahulu kala itu sangat
banyak sekali dan tidak ada kepastiannya. Kita hanya akan bertanya-tanya
atau menduga-duga dengan tidak akan mendapat jawaban yang pasti. Di
kerajaan Romawi atau Cina memang ada sejarah raja-raja yang besar,
tetapi raja mana yang dimaksudkan oleh Tambo tidak kita ketahui. Dalam
hal ini rupanya Tambo Alam Minangkabau tidak mementingkan angka tahun
selain dari mementingkan kebesaran kemasyuran nama-nama rajanya.
Percantuman
raja Romawi dalam Tambo menurut hemat kita hanya usaha dari pembuat
Tambo untuk menyetarakan kemasyhuran raja Minangkabau dengan nama raja
di luar negeri yang memang sudah sangat terkenal di seantero penjuru
dunia.
Dengan mensejajarkan kedudukan raja-raja Minangkabau dengan
raja yang sangat terkenal itu maka pandangan rakyat Minangkabau terhadap
rajanya sendiri akan semakin tinggi pula. Disini kita bertemu dengan
satu kebiasaan dunia Timur untuk mendongengkan tuah kebesaran rajanya
kepada anak cucunya.
Gelar Maharajo Dirajo sendiri terlepas ada
tidaknya raja tersebut, menunjukan kebesaran kekuasaan rajanya, karena
istilah itu berarti penguasa sekalian raja-raja yang tunduk di bawah
kekuasaannya. Josselin de Jong mengatakan Lord of the Word atau Raja
Dunia.
Dalam sejarah Indonesia gelar Maharaja Diraja tidak hanya
menjadi milik orang Minangkabau saja, melainkan juga ada raja lain yang
bergelar demikian seperti Karta Negara dari Singasari dengan gelar
Maharaja Diraja seperti yang tertulis pada arca Amogapasa tahun 1286
sebagai atasan dari Darmasraya yang bernama raja Tribuana.
Tambo
mengatakan bahwa Maharajo Dirajo adalah raja Minangkabau pertama. Tetapi
ada pendapat lain yang mengatakan bahwa Srimaharaja Diraja yang disebut
dalam tambo sebagai raja Minangkabau yang pertama itu tidak lain dari
Adityawarman sendiri yang menyebut dirinya dengan Maraja Diraja. Tentang
Adityawarman mempergunakan gelar Maharaja Diraja memang semua ahli
sudah sependapat, karena Adityawarman sendiri telah menulis demikian
dalam prasasti Pagaruyung.
Dari gelar Maharaja Diraja yang dipakai
Adityawarman menunjukan kepada kita bahwa sewaktu Adityawarman berkuasa
di Minangkabau tidak ada lagi kekuasaan lain yang ada di atasnya, atau
dengan perkataan lain dapat dikatakan pada waktu itu Minangkabau sudah
berdiri sendiri, tidak berada di bawah kekuasaan Majapahit atau sudah
melepaskan diri dari Majapahit. Kerajaan Majapahit adalah ahli waris
dari Singasari. Sedangkan Singasari pernah menundukkan melayu
Darmasraya, tentu berada di bawah kekuasaan Singasari - Majapahit itu,
maka untuk melepaskan diri dari Singasari - Majapahit itu Adiyawarman
memindahkan pusat kekuasaannya kepedalaman Minangkabau dan menyatakan
tidak ada lagi yang berkuasa di atasnya dengan memakai gelar Maharaja
Diraja.
Ada sesuatu pertanyaan kecil yang perlu dijawab, yaitu apakah
tidak ada lagi kemungkinan bahwa gelar Maharajo Dirajo itu merupakan
gelar keturunan bagi raja-raja Minangkabau, sehingga diwaktu
Adityawarman menjadi raja di Minangkabau dia merasa perlu mempergunakan
gelar tersebut agar dihormati oleh rakyat Minangkabau. Kalau memang
demikian, maka kita akan dapat menghubungkannya dengan Maharajo Dirajo
yang kita bicarakan kehidupannya sebelum abad Masehi. Tetapi hal ini
kembali hanya berupa dugaan saja yang masih memerlukan pembuktian lebih
lanjut.
Kalau kita mengikuti pendapat yang mengatakan bahwa Maharaja
Diraja itu sama dengan Adityawarman, maka satu kepastian dapat dikatakan
bahwa kerajaan Minangkabau baru bermula pad tahun 1347, yaitu pada
waktu Adityawarman menjadi raja di Minangkabau yang berpusat di
Pagaruyuang. Logikanya tentu sebelum Adityawarman, belum ada raja di
Minangkabau, kalau ada baru merupakan daerah-daerahyang dikuasai oleh
seorang kepala suku saja. Kalau pendapat itu tidak dapat diterima
kebenarannya, maka tokoh Maharajo Dirajo yang disebut di dalam Tambo itu
masih tetap merupakan seorang tokoh legendaris dalam sejarah
Minangkabau dan hal ini akan tetap mengundang bermacam-macam pertanyaan
yang pro dan kontra.
Kemungkinan gelar Maharajo sudah dipergunakan
sebelum kedatangan Adityawarman memang ada. Tetapi apakah gelar itu
merupakan gelar keturunan dari raja-raja Minangkabau masih belum lagi
dapat diketahui dengan pasti. Yang jelas pada waktu sekarang ini, banyak
gelar para penghulu di Sumatera Barat yang memakai gelar Maharajo
sebagai gelar kepenghulunya disamping nama lainnya, seperti Dt.
Maharajo, Dt. Marajo, Dt. Maharajo Basa, Dt. Maharajo Dirajo.
Kelihatan
gelar tersebut dipergunakan oleh masyarakat Minangkabau sebagai gelar
pusaka yang turun-menurun. Sebaliknya raja-raja Pagaruyung sendiri tidak
mempergunakan gelar tersebut sebagai pusaka kerajaannya. Jadi, dapat
disimpulkan bahwa gelar Maharajo Dirajo tersebut merupakan gelar pusaka
Minangkabau dan sudah ada sebelum Adityawarman menjadi raja di
Pagaruyung. Barangkali memang gelar itu diturunkan dari Maharajo dirajo
seperti disebutkan dalam Tambo itu.
A.5. Suri Dirajo, Cati Bilang
Pandai Dan Indo Jati
Ketiga nama ini hanya terdapat dalam Tambo atau
kaba yang banyak terdapat dalam masyarakat Sumatera Barat sekarang ini.
Dari situlah bersumbernya ketiga nama tersebut, sedangkan sumber-sumber
sejarah lainnya seperti prasasti dan tulisan lainnya tidak ada menyebut
ketiga nama tersebut. Namun, sama halnya dengan nama Iskandar
Zulkarnaen rakyat Sumatera Barat mempercayai ketiga nama tersebut
sebagai cikal bakal orang Minangkabau.
Menurut Tambo Zuriat Sultan
Iskandar Zulkarnaen, sewaktu Maharajo bertolak dari Tanah Basa, (India
Selatan) memimpin satu rombongan yang terdiri dari: Suri Dirajo, Indo
Jati, Cati bilang Pandai, dan beberapa rombongan dari Campa, Siam,
Kambai dan lain-lain berlayar mengarungi lautan Indonesia lalu menetap
ke gunung Merapi. P. E. Josselin de Jong juga menyebutkan nama Cati
Bilang Pandai sebagai penasehat dari Maharajo.
Perlu dijelaskan bahwa
nama Indo Jati sering disebutkan dengan sebutan yang berbeda, walaupun
orangnya itu juga. Hamka menyebutkan dengan nama Indo Jelita atau dengan
nama lain Ceti Reno Sudah. PE Josselin de Jong menyebut dengan nama
Indo Calita. Sedangkan untuk kedua nama yang lain tidak ada perbedaan
sebutan. Sekarang timbul pertanyaan: Apakah ketiga nama itu betul-betul
merupakan nenek moyang orang Minangkabau di zaman dahulu dengan
pengertian benar-benar ada dalam sejarah Minangkabau. Jawabannnya mudah
saja, karena tidak ada bukti-bukti lain yang akan mendukung, maka secara
historis ketiga tokoh ini hanya merupakan tokoh legendaris belaka dalam
sejarah Minangkabau. Keberadaannya sebagai tokoh sejarah tidak dapat
dibuktikan.
Namun demikian, hampir semua Tambo Minangkabau sependapat
mengatakan bahwa Suri Dirajo dan Cati Bilang Pandai adalah tokoh yang
melambangkan orang pandai, ahli pikir, baik di bidang pemerintahan
maupun di bidang kemasyarakatan. Segala sesuatu yang dikerjakan,
terlebih dahulu harus mendapat persetujuan dari salah seorang kedua
tokoh itu, demikian besar pengaruhnya di samping Maharajo Dirajo
sendiri.
Sedangkan menurut Hamka, tokoh Indo Jati yang disebutnya
sebagai Indra Jati melambangkan sesuatu yang luhur asal-usulnya. Dalam
kepercayaan Hindu nama Indra adalah nama seorang dewa yang merupakan
salah seorang dewa utama Trimurti. Indra adalah salah satu penjelmaan
Wisnu sebagai Dewa Matahari. Gelar dewa jelas menunjukkan seorang
kesatria yang berdarah luhur. Jadi tokoh Indo Jati adalah salah seorang
tokoh wanita kesatria dari rombongan Maharajo Dirajo.
A.6. Datuk
Ketumanggungan Dan Datuk Perpatih Nan Sabatang
Siapa tokoh ini?.
Apakah mereka juga merupakan dua orang legendaris sejarah Minangkabau?.
Atau apakah keduanya merupakan tokoh historis sejarah Minangkabau yang
benar-benar ada dan hidup dalam sejarah Minangkabau pada masa dahulu.
Penjelasan berikut ini dapat menjawab beberapa pertanyaan itu.
Suku
bangsa Minangkabau, dari dahulu hingga sekarang, mempercayai dengan
penuh keyakinan, bahwa kedua orang tokoh itu merupakan pendiri Adat Koto
Piliang dan Adat Bodi Caniago yang sampai sekarang masih hidup subur di
dalam masyarakat Minangkabau, baik yang ada di Sumatera Barat sendiri
maupun yang ada diperantauan.
Demikian kokohnya sendi-sendi kedua
adat itu sehingga tidak dapat digoyahkan oleh bermacam-macam pengaruh
dari luar, dengan pengertian akan segera mengadakan reaksi membalik
apabila terjadi perbenturan terhadap unsur-unsur pokok adat itu. Hal ini
telah dibuktikan oleh perputaran masa terhadap kedua adat itu.
Ada
petunjuk bagi kita bahwa kedua tokoh itu memang merupakan tokoh sejarah
Minangkabau. Pitono mengambil kesimpulan bahwa dari bait kedua prasasti
pada bagian belakang arca Amogapasa, antara tokoh adat Datuk Perpatih
Nan Sabatang dengan tokoh Dewa Tuhan Perpatih yang tertulis pada arca
itu adalah satu tokoh yang sama.
Dijelaskan selanjutnya bahwa pada
prasasti itu tokoh Dewa Tuhan Perpatih sebagai salah seorang terkemuka
dari raja Adityawarman yaitu salah seorang menterinya. Jadi tokoh Dewa
Tuhan yang ada pada prasasti yang terdapat di Padang Candi itu adalah
sama dengan Datuk Perpatih Nan Sabatang. Demikian kesimpulannya.
Kalau
pendapat ini memang benar, maka dapat pula dibenarkan bahwa tokoh Datuk
Perpatih Nan Sabatang itu adalah merupakan salah seorang tokoh historis
dalam sejarah Minangkabau, karena namanya juga tertulis pada salah satu
prasasti sebagai peninggalan sejarah yang nyata-nyata ada.
Bukti
lain mengenai kehadiran tokoh tersebut dalam sejarah Minangkabau adalah
dengan adanya Batu Batikam di Dusun Tuo Lima Kaum, Batusangkar.
Dikatakan dalam Tambo, bahwa sebagai tanda persetujuan antara Datuk
Perpatih Nan Sabatang dengan Datuk Ketumanggungan, Datuk Perpatih Nan
Sabatang menikamkan kerisnya kepada sebuah batu, hal ini sebagai
peringatan bagi anak cucunya dikemudian hari. Sebelum peristiwa ini
terjadi antara kedua tokoh adat itu terjadi sedikit kesalah pahaman.
Adanya Batu Batikam itu yang sampai sekarang masih terawat dengan baik,
dan ini membuktikan kepada kita bahwa kedua tokoh itu memang ada dalam
sejarah Minangkabau, bukan sekedar sebagai tokoh dongeng saja
sebagaimana banyak ahli-ahli barat mengatakannya.
Bukti lain dalam
hikayat raja-raja Pasai. Dikatakan bahwa dalam salah satu perundingan
dengan Gajah Mada yang berhadapan dari Minangkabau adalah Datuk Perpatih
Nan Sabantang tersebut. Hal ini membuktikan pula akan kehadiran tokoh
itu dalam sejarah Minangkabau.
Di Negeri Sembilan, sebagai bekas
daerah rantau Minangkabau seperti dikatakan Tambo, sampai sekarang juga
dikenal Adat Perpatih. Malahan peraturan adat yang berlaku di rantau
sama dengan peraturan adat yang berlaku di daerah asalnya. Hal ini juga
merupakan petunjuk tentang kehadiran Datuk Parpatih Nan Sabantang dalam
sejarah Minangkabau. Menurut pendiri adat Koto Piliang oleh Datuk
Ketumanggungan dan Adat Budi Caniago oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang.
Sesudah
ternyata terbukti bahwa kedua tokoh itu benar-benar hadir dalam sejarah
Minangkabau, maka ada hal sedikit yang kurang benar yang dikemukakan
oleh Pinoto. Dia mengatakan bahwa kedua tokoh itu merupakan pembesar
dengan kedudukan menteri dalam kerajaan Adiyawarman. Tetapi pencantuman
kedua tokoh itu dalam Prasasti Adityawarman tidaklah berarti bahwa
menjadi menterinya, melainkan untuk menghormatinya, karena sebelum
Adityawarman datang, kedua tokoh itu sudah ada di Minangkabau yang
sangat dihormati oleh rakyatnya. Maka oleh Adityawarman untuk
menghormati kedudukan kedua tokoh itu dicantumkan nama mereka pada
prasastinya. Tidak sembarang orang yang dapat dicantumkan di dalam
prasasti itu, kecuali tokoh yang betul-betul sangat terhormat.
Walaupun
Datuk Parpatih Nan Sabatang dan Datuk Ketumanggungan sudah merupakan
tokoh historis dalam sejarah Minangkabau sesuai dengan bukti-bukti yang
dikemukakan, akan tetapi keduanya bukanlah merupakan raja Minangkabau,
melainkan sebagai pemimpin masyarakat dan penyusun kedua adat yang hidup
dalam masyarakat Minangkabau sekarang ini, yaitu adat Koto Piliang dan
Adat Bodi Caniago, bagi masyarakat Minangkabau sendiri kedudukan yang
sedemikian, jauh lebih tinggi martabatnya dari kedudukan seorang raja
yang manapun.
Antara Datuk Parpatih Nan Sabatang dan Datuk
Ketumanggungan adalah dua orang bersaudara satu Ibu berlainan Ayah.
Karena ada sedikit perbedaan dari apa yang dikatakan Tambo mengenai
siapa ayah dan ibu dari kedua orang itu, rasanya pada kesempatan ini
tidak perlu dibicarakan perbedaan itu. Tetapi dari apa yang dikatakan
itu dapat ditarik kesimpulan bahwa ayah Datuk Ketumanggungan adalah
suami pertama ibunya (Indo Jati). Berasal dari yang berdarah luhur atau
dari keturunan raja-raja. Sedangkan ayah dari Datuk Parpatih Nan
Sabatang adalah Cati Bilang Pandai suami kedua ibunya yang berasal dari
India Selatan juga. Perbedaan darah leluhur dari keduanya itu
menyebabkan nantinya ada sedikit perbedaan dalam ajaran yang disusun
mereka. Kesimpulannya adalah bahwa kedua orang itu yaitu Datuk
Ketumanggungan dan Datuk Parpatih Nan Sabatang adalah dua tokoh historis
dalam sejarah Minangkabau, bukan tokoh legendaris sebagaimana yang
dianggap oleh kebanyakan penulis-penulis barat.
A.7. Masa
Pemerintahan Adityawarman
Adityawarman bukan raja di Minangkabau,
melainkan adalah raja di kerajaan Pagaruyung yang merupakan salah satu
periode dari sejarah Minangkabau yang sangat panjang. Agar tidak
mendatangkan keraguan kepada kita, maka kerajaan yang diperintahkan oleh
Adityawarman kita namai kerajaan Pagaruyung saja.
Untuk mengetahui
siapa sebenarnya Adityawarman, perlu kita tinjau kembali hasil dari
ekspedisi Pamalayu oleh Kartanegara pada tahun 1275, bukan hasil secara
keseluruhan melainkan hasil yang berhubungan dengan asal-usul
Adityawarman saja.
Setelah ekspedisi itu berhasil, maka sewaktu
rombongan ekspedisi kembali ke Jawa, mereka membawa Dara Jingga dan Dara
Petak. Sesampai di Jawa kerajaan Singasari telah diganti oleh kerajaan
Majapahit. Maka Dara Petak diambil sebagai selir oleh Raden Wijaya yang
menjadi raja pertama kerajaan Majapahit. Dari perkawinan ini nanti akan
melahirkan seorang putra yang pada waktunya akan menjadi raja di
Majapahit. Puteranya tersebut bernama Jayanegara.
Dara Jingga kawin
dengan salah seorang pembesar kerajaan Majapahit dan melahirkan seorang
putera yang nama kecilnya. Aji Mantrolot. Aji Mantrolot ini yang
kemudian dikenal sebagai Adityawarman. Dengan demikian Adityawarman
merupakan keturunan dari dua darah kaum bangsawan, satu darah bangsawan
Sumatera dan satu darah bangsawan Majapahit. Raja Majapahit yang kedua
yaitu Jayanegara adalah saudara sepupu dari Adityawarman.
Mengenai
asal-usul Adityawarman ini, Muhammad Yamin mengatakan bahwa Adityawarman
berasal dari tanah Minangkabau di Pulau Sumatera. Tempat lahirnya
terletak di Siguntur dekat nagari Sijunjung. Diwaktu muda dia berangkat
ke Majapahit, tempat dia dididik disekeliling pusat pemerintahan dalam
suasan keraton Majapahit. Kesempatan yang diperdapatnya itu berasal dari
turunannya. Ayah bundanya mempunyai hubungan darah dengan permaisuri
raja Majapahit yang pertama.
Pendapat Muhammad Yamin mengenai tempat
kelahiran Adityawarman dan hubungan kekeluargaannya dengan Kerajaan
Majapahit diperkuat oleh Pinoto yang mengatakan, bahwa Adityawarman
adalah seorang putera Sumatera yang lahir di daerah aliran Sungai Kampar
dan besar kemungkinan dalam tubuhnya mengalir darah Majapahit. Hubungan
dengan kerajaan Majapahit bersifat geneologis dan politis.
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa Adityawarman dilahirkan di Kerajaan
Melayu atau Minangkabau dan dibesarkan di Kerajaan Majapahit. Di keraton
Majapahit Adityawarman di didik bersama saudara sepupunya Jayanegara
yang kemudian menjadi raja Majapahit yang kedua. Di keraton Majapahit
kedudukan Adityawarman sangat tinggi, yaitu berkedudukan sebagai salah
seorang menteri atau perdana menteri yang diperolehnya bukan saja karena
hubungan darahnya dengan raja Majapahit tetapi juga berkat kecakapannya
sendiri. Tahun 1325 raja Jayanegara mengirim Adityawarman segbagai
utusan ke negeri Cina yang berkedudukan sebagai duta. Bersama dengan
Patih Gajah Mada, Adityawarman ikut memperluas wilayah kekuasaan
Majapahit di Nusantara. Tahun 1331 Adityawarman memadamkan pemberontakan
Sadeng dengan suatu perhitungan yang jitu. Tahun 1332 dia dikirim
kembali menjadi utusan ke negeri Cina dengan kedudukan sebagai duta.
Pada tahun 1334 Adityawarman pulang kembali ke negeri asalnya. Karena
dengan lahir dan menjadi besarnya Hayam Wuruk tidak ada lagi kesempatan
bagi Adityawarman utnuk menjujung mahkota kerajaan Majapahit sebagai
ahli waris yang terdekat.
Adityawarman adalah cucu dari raja Melayu
karena ibunya Dara Jingga adalah anak Tribuana raja Mauliwarmadewa, raja
kerajaan Melayu. Oleh karena itu, Adityawarman berhak atas takhta
kerajaan Melayu tersebut. Timbulnya keinginan Adityawarman untuk
mendirikan kerajaan Melayu yang mandiri, disebabkan karena kegagalan
usaha patih Gajah Mada menguasai selat malaka. Pada tahun 1347
Adityawarman menjadi raja kerajaan Melayu yang dipusatkan di Darmasraya.
Hal ini dapat dibuktikan dengan prasasti yang dipahatkan pada bagian
belakan arca Amogapasa dari Padang Candi. Dalam Prasasti itu
Adityawarman memakai nama : “Udayadityawarman Pratakramarajendra
Mauliwarmadewa” dan bergelar “Maharaja Diraja” dengan memakai gelar
tersebut rupanya Adityawarman hendak menyatakan bahwa dia merupakan raja
yang berdiri sendiri dan tidak ada lagi raja yang berada di atasnya.
Dengan demikian dia sudah bebas dari Majapahit. Sebagai realisasi dari
pernyataan tersebut, maka Adityawarman pada tahun 1349 memindahkan pusat
kerajaan dari Darmasraya ke Pagaruyung di Batusangkar.
Selama
pemerintahannya Adityawarman berusaha membawa kerajaan Pagaruyung ke
puncak kejayaannya. Dalam usaha memajukan kerajaan itu Adityawarman
mengadakan hubungan dengan luar negeri, yaitu dengan Cina. Tahun 1357,
1375, 1376 Adityawarman mengirim utusan ke negeri Cina. Selama masa
pemerintahannya di Pagaruyung yang berlangsung dari tahun 1349 sampai
1376, kerajaan Pagaruyung berada di puncak kejayaannya. Bahkan dapat
dikatakan pada waktu itu Indonesia bagian barat dikuasai kerajaan
Pagaruyung dan Indonesia bagian Timur berada di bawah pengaruh kekuasaan
Majapahit.
Adityawarman sebagai orang yang dididik dan dibesarkan di
Majapahit serta telah pula pernah menjabat beberapa jabatan penting di
kerajaan Majapahit, tentulah paham betul dengan seluk beluk pemerintahan
di Majapahit. Dengan demikian corak pemerintahan kerajaan Majapahit
sedikit banyaknya berpengaruh pada corak pemerintahan Adityawarman di
Pagaruyung. Hal ini ternyata pada prasasti yang ditinggalkan
Adityawarman terdapat nama Dewa Tuhan Perpatih dan Tumanggung yang oleh
Pinoto dibaca Datuk Perpatih Nan Sabatang dan Datuk Ketumanggungan.
Menurut
Tambo kekuasaan Adityawarman hanya terbatas di daerah Pagaruyung,
sedangkan daerah lain di Minangkabau masih tetap berada dibawah
pengawasan Datuk Perpatih Nan Sabatang dan Datuk ketumanggungan dengan
pemerintahan adatnya. Dengan demikian di Pagaruyung Adityawarman dapat
dianggap sebagai lambang kekuasaan saja, sedangkan kekuasaan sebenarnya
tetap berada di tangan kedua tokoh pemimpin adat tersebut, sehingga hal
ini menyebabkan kemudian pengaruh budha yang dibawa ke Pagaruyung tidak
dapat tempat di hati rakyat Minangkabau, karena prinsipnya rakyat
Minangkabau sendiri secara langsung tidak berkenalan dengan
pengaruh-pengaruh tersebut. Disamping itu, selama menjadi raja
Pagaruyung yang mengatur kehidupan masyarakat Minangkabau tetap hukum
Adat Koto Piliang dan Bodi Caniago. Dalam hal ini Tambo mengatakan bahwa
Adityawarman walaupun sudah menjadi raja yang besar, tetap saja
merupakan seorang sumando di Minangkabau, artinya kekuasaannya sangat
terbatas.
Barangkali hal ini memang disengaja oleh Datuk yang berdua
itu, mengingat pada mulanya kekuasaan Adityawarman yang sangat besar
sekali. Agar kehidupan masyarakat Minangkabau jangan terpengaruh oleh
kebiasaan yang dibawa oleh Adityawarman maka kedua Datuk itu memagarinya
dengan pengaturan kekuasaan, Adityawarman boleh menjadi raja yang
sangat besar, tetapi kekuasaannya hanya terbatas di sekitar istana saja,
sedangkan kekuasaan langsung terhadap masyarakat tetap dipegang oleh
mereka. Sesudah meninggalnya Adityawarman yang memang merupakan seorang
raja yang besar dan kuat, kekuasaan kerajaan Pagaruyung mulai luntur.
Kelihatannya dengan pengaturan yang dilakukan oleh Datuk Perpatih Nan
Sabatang berdua dengan Datuk Ketumanggungan tidak memberi kesempatan
kepada pengganti Adityawarman yang menganut agama budha untuk berkuasa
seterusnya.
Adityawarman sebagai raja Pagaruyung merupakan seorang
raja yang paling banyak meninggalkan prasasti. Hampir dua puluh buah
prasasti yang ditinggalkannya. Diantaranya yang telah dibaca seperti
Prasasti Arca Amogapasa, Kuburajo, Saruaso I dan II, Pagaruyung, Kapalo
Bukit Gambak I dan II, Banda Bapahek, dan masih banyak lagi yang belum
dapat dibaca.
Diantara yang telah dapat dibaca itu menyatakan
kebesaran dan kemegahan kerajaan Pagaruyung, barangkali diantara
raja-raja yang pernah ada di Indonesia tidak ada seorang pun yang pernah
meninggalkan prasasti sebanyak yang telah ditinggalkan oleh
Adityawarman. Sayangnya di Minangkabau kebiasaan seperti itu hanya
dilakukan oleh Adityawarman seorang raja. Sebelum dan sesudahnya
Adityawarman tidak ada yang membiasakan sehingga sampai sekarang
kebanyakan data sejarah Minangkabau agak gelap.
Sesudah Adityawarman
meninggal kerajaan Pagaruyung yang tidak lagi mempunyai raja yang
merupakan keturunan darah langsung dari Adityawarman. Sedangkan
Ananggawarman yang dikatakan dalam salah satu prasasti Adityawarman
sebagai anaknya tidak pernah memerintah, karena kekuasaan Adityawarman
langsung digantikan oleh Yang Dipertuan Sultan Bakilap Alam. Dari
sebutan raja itu saja, kelihatannya sesudah Adityawarman raja yang
menggantikannya sudah menganut agama Islam.
Adanya Sultan Bakilap
Alam sebagai raja Minangkabau Pagaruyung dijelaskan oleh Tambo
Minangkabau. Dengan sudah dianutnya agama Islam oleh pengganti
Adityawarman, maka hilang pulalah pengaruh agama Budha yang dianut
Adityawarman di Minangkabau.
Sampai dengan pertengahan abad ke-16
sesudah Adityawarman kita tidak memperoleh keterangan yang lengkap
mengenai kerajaan Pagaruyung. Rupanya sesudah Adityawarman meninggal,
kerajaan Majapahit kembali berusaha untuk menguasai Pagaruyung serata
Selat Malaka. Tetapi usaha tersebut gagal kaena angkatan perang kerajaan
Majapahit yang datang dari arah pantai timur dikalahkan oleh tentara
Pagaruyung dalam pertempuran di Padang Sibusuk tahun 1409.
Akibat
pertempuran Padang Sibusuk itu membawa akibat yang sangat besar dalam
struktur pemerintahan kerajaan Pagaruyung selanjutnya. Semasa
Adityawarman menjadi raja, pemerintahan bersifat sentralisasi menurut
sistem di Majapahit. Tetapi sesudah pertempuran Padang Sibusuk itu,
nagari-nagai di Minangkabau membebaskan diri dari kekuasaan yang
berpusat di Pagaruyung.
A.8. Kerajaan Pagaruyung Sesudah
Adityawarman
Dari berita Tambo Pagaruyung dapat diketahui bagaiman
keadaan Pagaruyung sesudah Adiyawarman demikian pula wawancara dengan
S.M. Taufik Thaib SH. Dikatakan mengenai silisilah raja-raja Pagaruyung
adalah sebagai berikut:
Adityawarman (1339-1376)
Ananggawarman
(1376)
Yang Dipertuan Sultan Bakilap Alam
Yang Dipertuan Sultan
Pasambahan
Yang Dipertuan Sultan Alif gelar Khalifafullah
Yang
Dipertuan Sultan Barandangan
Yang Dipertuan Sultan Patah (Sultan
Muning II)
Yang Dipertuan Sultan Muning III
Yang Dipertuan Sultan
Sembahwang
Yang Dipertuan Sultan Bagagar Syah
Yang Dipertuan Gadih
Reni Sumpur 1912
Yang Dipertuan Gadih Mudo (1912-1915)
Sultan
Ibrahim 1915-1943 gelar Tuanku Ketek
Drs. Sultan Usman 1943 (Kepala
Kaum Keluarga Raja Pagaruyung)
Dari data ini dapat ditarik kesimpulan
bahwa sesudah Adityawarman raja-raja di Pagaruyung sudah menganut agama
Islam sesuai dengan sebutan Sultan (pengaruh Islam).
Bila Sultan
Bakilap Alam memerintah tidak disebutkan oleh tambo tersebut, tetapi
dapat diperkirakan sesudah tahun 1409, karena sampai 1409 pemerintahan
Pagaruyung masih bersifat sentralisasi seperti sewaktu pemerintahan
Adityawarman. Sesudah tahun tersebut pemerintahan Pagaruyung sudah
desentralisasi dengan pengertian bahwa nagari-nagari sudah mempunyai
otonom penuh dan pemerintahan di Pagaruyung sudah mulai melemah.
Selanjutnya
dikatakan bahwa di atas pemerintahan nagari-nagari terlihat adanya dua
tingkat pemerintahan yaitu Rajo Tigo Selo dan Basa Ampek Balai. Rajo
Tigo Selo dimaksudkan adalah tiga orang raja yang sekaligus berkuasa di
bidang masing-masing. Raja Alam berkedudukan di Pagaruyung sebagai pucuk
pimpinan, Raja Adat berkedudukan di Buo yang melaksanakan tugas-tugas
kerajaan dibidang adat. Raja Ibadat berkedudukan di Sumpur Kudus dan
melaksanakan urusan keagamaan kerajaan. Gambaran ini adalah lembaga
pemerintahan di tingkat raja.
Sedangkan ditingkat Menteri dan Dewan
Menteri yang dimaksud dengan Basa Ampek Balai terdiri dari:1. Bandaro
(Titah) di Sungai Tarab sebagai Perdana Menteri2. Tuan Kadi di Padang
Ganting yang mengurus masalah Agama3. Indomo di Saruaso mengurus masalah
keuangan4. Makhudum di Sumanik yang mengurus masalah pertahanan dan
rantau
Masyarakat nagari dalam mengusut persoalannya berjenjang naik
sampai ketingkat kerajaan. Dibidang adat dari nagari terus ke Bandaro
dan kalau tidak putus juga diteruskan lagi kepada Raja Buo dan kalau
tidak putus juga masalahnya diteruskan lagi kepada Raja Alam di
Pagaruyung yang akan memberikan kata putus. Begitu juga dalam bidang
agama. Dari nagari naik kepada tuan Kadi di Padang Ganting, terus kepada
raja Ibadat di Sumpur Kudus, dan bula tidak selesai juga akhirnya
sampai kepada raja Alam yang akan memberikan kata putusnya.
Selanjutnya
dikatakan bahwa Lembaga Rajo Tigo Selo dibentuk bersama dengan
pembentukan Lembaga Basa Ampek Balai. Penobatan dan pelatikan Rajo Tigo
Selo dan Basa Ampek Balai bersamaan pula dengan pengangkatan dan
pengiriman “Sultan Nan Salapan” ke daerah rantau Minangkabau yaitu
daerah-daerah: Aceh, Palembang, Tambusai, Rao, Sungai Pagu, Bandar
Sepuluh, Siak Indra Pura, Rembau Sri Menanti dan lain-lain. Pengangkatan
dan pelantikan itu dilakukan oleh Sultan Bakilap Alam.
Dalam hal ini
Bahar Dt Nagari Basa, mengatakan bahwa Basa Ampek Balai pada mulanya
terdiri dari Bandaro di Sungai Tarap, yang menjadi Payung Panji Koto
Piliang; Datuk Makhudum di Sumanik yang menjadi Pasak Kungkung Koto
Piliang; Indomo di Saruaso yang menjadi Amban Puruak (bendahara) Koto
Piliang; Tuan Gadang di Batipuah yang menjadi Harimau Campo Koto
Piliang, yaitu Menteri Pertahanan Koto Piliang. Kemudian setelah Islam
masuk ke Minangkabau dimasukkan Tuan Kadhi sebagai anggota Basa Ampek
Balai dan “Tuan Gadang” di Batipuh ke luar dari keanggotaan itu dengan
berdiri sendiri sebagai orang yang bertanggung jawab dalam masalah
pertahanan Koto Piliang. Semuanya itu terdapat di Tanah Datar yang
merupakan pucuk pimpinan di Minangkabau. Selanjutnya dikatakan yang
menjadi kebesaran Luhak Agam adalah Parik Paga dan Kebesaran Lima Puluh
Kota adalah Penghulu.
Dari keterangan itu yang dapat diambil
kesimpulan bahwa Lembaga Basa Ampek Balai sudah ada sebelum Islam masuk
ke Minangkabau dengan bukti seperti yang dikatakan oleh Datuk Nagari
Basa dengan susunan yang sedikit berbeda dari apa yang kita kenal
kemudian. Baru sesudah Islam masuk ke Minangkabau kedudukan Tuan Kadhi
diserahkan untuk mengurus masalah agama Islam. Selanjutnya susunan Basa
Ampek Balai dengan Tuan Gadang sudah seperti yang kita kenal sekarang
ini.
Mengenai susunan pemerintahan Pagaruyung sesudah Adityawarman
ini diuraikan dengan lengkap dalam cerita Cindua Mato. Cindua Mato
(Candra Mata) adalah sebuah cerita rakyat Minangkabau yang menggambarkan
tentang keadaan pemerintahan Minangkabau Pagaruyung di zaman
kebesarannya. Walaupun dalam cerita ini mengenai raja-raja yang
diceritakan sudah ada unsur legendanya, tetapi yang mengenai masalah
lainnya sama dengan apa yang dikatakan Tambo.
Menurut Tambo, Basa
Ampek Balai pernah memegang kedudukan Raja Alam yaitu sesudah Sultan
Alif meninggal, karena orang yang akan menggantikan Sultan Alih masih
belum dewasa. Buat sementara dipegang oleh Basa Ampek Balai.
A.9.
Kedatangan Bangsa Barat Ke Minangkabau
Hubungan Minangkabau dengan
bangsa Barat yang pertama kali dilakukan dengan bangsa Portugis. Menurut
berita Portugis, permulaan abad ke 16 ada utusan kerajaan Melayu yang
datang ke Malaka. Kedatangan utusan tersebut adalah untuk membicarakan
masalah perdagangan dengan bangsa Portugis yang waktu itu menguasai
Malaka. Tetapi dengan berhasilnya Aceh menguasai pesisir barat pulau
Sumatera, maka hubungan dagang dengan Portugis itu terputus.
Dengan
bangsa Belanda hubungan Minangkabau terjadi pertama kali kira-kira tahun
1600, diwaktu Pieter Both memerintahkan Laksamana Muda Van Gaedenn
membeli lada ke pantai barat pulau Sumatera. Waktu itu beberapa
pelabuhan yang ada disana menolak permintaan Belanda dibawah kekuasaan
Kerajaan Aceh.
Pada waktu Sultan Iskandar Muda dari kerajaan Aceh
meninggal dunia, maka kekuasaan kerajaan Aceh menjadi lemah, sehingga
mulai tahun 1636 sewaktu Iskandar Muda meninggal dunia, daerah-daerah
Pesisir Barat kerajaan Pagaruyung mulai membebaskan diri dari kekuasaan
Aceh dan melakukan hubungan dagang langsung dengan Belanda, seperti yang
dilakukan oleh raja-raja Batang Kapas, Salido, Bayang di Pesisir
Selatan.
Pada tahun 1641 Belanda merebut Malaka dari Portugis dan
semenjak itu Belanda mulai memperbesar pengaruhnya di pesisir barat
Sumatera untuk menggantikan kerajaan Aceh. Mula-mula Belanda mendirikan
kantor dagangnya di Inderapura terus ke Salido. Kemudian di Pulau
Cingkuak juga didirikan lojinya pada tahun 1664 untuk mengatasi
perlawanan rakyat pesisir yang dikoordinir oleh Aceh.
Untuk
melepaskan pesisir barat pulau Sumatera dari pengaruh Aceh, maka Belanda
melakukan perjanjian dengan raja Pagaruyung yang merupakan pemilik
sesungguhnya dari daerah tersebut. Oleh raja Pagaruyung Belanda
diberikan kebebasan untuk mengatur perdagangannya pada daerah tersebut.
Perjanjian itu dilakukan pihak Belanda dengan Sultan Ahmad Syah pada
tahun 1668.
Mulai saat itu Belanda, melangkah selangkah demi
selangkah menanamkan pengaruhnya di Sumatera Barat dengan jalan politik
pecah belahnya yang terkenal itu. Disatu pihak mereka menimbulkan
perlawanan rakyatnya terhadap raja atau pemimpinnya sesudah itu mereka
datang sebagai juru selamat dengan mendapat imbalan yang sangat
merugikan pihak Minangkabau, sehingga akhirnya seluruh Minangkabau dapat
dikuasai Belanda.
Semenjak abad ke 17 terjadi persaingan dagang yang
sangat memuncak antara bangsa Belanda dengan bangsa Inggris di
Indonesia. Pada tahun 1684 Belanda dapat mengusir Inggris berdagang di
Banten. Sebaliknya Inggris masih dapat bertahan di daerah Maluku dan
menguasai perdagangan di daerah pesisir Sumatera Bagian Barat. Pada
tahun 1786 berhasil menguasai pulau Penang di Selat Malaka sehingga
mereka dapat mengontrol jalan dagang diseluruh pulau Sumatera. Sumatera
mulai dibanjri oleh barang-barang dagang Inggris. Tentu saja hal ini
sangat merugikan pihak Belanda.
Tahun 1780-1784 pecah perang antara
Inggris dan Belanda di Eropa. Peperangan ini merambat pula sampai ke
daerah-daerah koloni yang mereka kuasai di seberang lautan. Pada tahun
1781 Inggris menyerang kedudukan Belanda di Padang dari pusat
kedudukannya di Bengkulu, dan Padang serta benteng Belanda di Pulau
Cingkuak di hancurkan.
Dengan demikian pusat perdagangan berpindah ke
Bengkulu. Setelah terjadi perjanjian antara kerajaan Belanda dengan
kerajaan Inggris maka Inggris terpaksa mengembalikan seluruh daerah yang
sudah direbutnya.
Bangsa Prancis yang pernah datang ke Sumatera
Barat, yaitu ketika bajak laut yang dipimpin oleh Kapten Le Me dengan
anak buahnya mendarat di Pantai Air Manis Padang. Hal ini terjadi pada
tahun 1793. mereka dapat merebut Kota Padang dan mendudukinya selama
lima hari. Setelah mereka merampok kota, mereka pergi lagi. Pada tahun
1795 Inggris merebut Padang lagi, karena terlibat perang lagi dengan
Belanda.
A.10. Pembaharuan oleh Agama Islam
Seperti yang telah
disebutkan pada bagian terdahulu, bahwa pada pertengahan abad ke tujuh
agama Islam sudah mulai memasuki Minangkabau. Namun pada waktu itu
perkembangan Islam di Minangkabau masih boleh dikatakan merupakan usaha
yang kebetulan saja, karena adanya pedagang-pedagang yang beragama Islam
datang ke Minangkabau. Pengaruh Islam pun hanya terbatas pada
daerah-daerah yang didatangi oleh pedagang-pedagang Islam, yaitu di
sekitar kota-kota dagang di pantai Timur Sumatera.
Masuknya agama
Islam itu ada yang secara langsung dibawa oleh pedagang Arab dan ada
yang dibawa oleh Pedagang India atau lainnya, artinya tidak langsung
datang dari negeri Arab. Perkembangan yang demikian berlangsung agak
lama juga, karena terbentur kepentingan perkembangan Politikk Cina dan
Agama Budha.
Di kerajaan Pagaruyung sampai dengan berkuasanya
Adityawarman, agama yang dianut adalah agama Budha sekte Baiwara dan
pengaruh agama Budha ini berkisar di sekitar lingkungan istana raja
saja. Tidak ada bukti-bukti yang menyatakan kepada kita bahwa rakyat
Minangkabau juga menganut agama tersebut.
Secara teratur agama Islam
pada akhir abad ke tiga belas yang datang dari Aceh. Pada waktu itu
daerah-daerah pesisir barat pulau Sumatera dikuasai oleh kerajaan Aceh
yang telah menganut agama Islam. Pedagang Islam sambil berdagang
sekaligus mereka langsung menyiarkan agama Islam kepada setiap
langganannya. Dari daerah pesisir ini, yaitu daerah-daerah seperti Tiku,
Pariaman, Air Bangis dan lain-lain dan kemudian masuk daerah perdalaman
Minangkabau. Masuknya agama Islam ke Minangkabau terjadai secara damai
dan nampaknya agama Islam lebih cepat menyesuaikan diri dengan anak
nagari. Barangkali itulah sebabnya bekas-bekas peninggalan Hindu dan
Budha tidak banyak kita jumpai di Minangkabau, karena agama itu tidak
sampai masuk ketengah-tengah masyarakat, tetapi hanya disekitar istana
saja. Habis orang-orang istana itu, maka habis pulalah bekas-bekas
pengaruh Hindu dan Budha.
Perkembangan agama Islam menjadi sangat
pesat setelah di Aceh diperintah oleh Sultan Alaudin Riayat Syah Al
Kahar (1537-1568 ), karena Sultan tersebut berhasil meluaskan wilayahnya
hampir ke seluruh pantai barat Sumatera.
Pada permulaan abad ketujuh
belas, seorang ulama dari golongan Sufi penganut Tarikat Naksabandiyah
mengunjungi Pariaman dan Aceh. Kemudian beberapa lama menetap di Luhuk
Agam dan Lima Puluh Kota. Juga dalam ke abad ke-17 itu di Ulakan
Pariaman bermukim seorang ulama Islam yang bernama Syeh Burhanuddin,
murid dari Syeh Abdurauf yang berasal dari Aceh. Syeh Burhanuddin adalah
penganut Tarikat Syatariah.
Murid-murid Syeh Burhanuddin itulah yang
menyebarkan agama Islam di pedalaman Minangkabau dan mendirikan pusat
pengajian di Pamansiangan Luhak Agam. Sebaliknya ulama-ulama dari Luhak
Agam ini pergi memperdalam ilmunya ke Ulakan Pariaman, yaitu tempat yang
dianggap sebagai pusat penyebaran dan penyiaran Islam di Minangkabau.
Dari Luhak Agam inilah nanti lahir ulama-ulama besar yang akan membangun
agama Islam selanjutnya di Minangkabau seperti Tuanku Nan Tuo dari
daerah Cangkiang Batu Taba Ampek Angkek Agam. Tuanku Imam Bonjol sendiri
merupakan salah seorang murid Tuanku Nan Renceh Kamang Mudiak Agam.
Pada
awalnya agama Islam di Minangkabau tidak dijalankan secara ketat,
karena disamping melaksanakan agama Islam para penganut juga masih
menjalankan praktek-praktek adat yang pada dasarnya bertentangan dengan
ajaran agama Islam itu sendiri.
Keadaan ini ternyata kemudian setelah
datangnya beberapa orang ulama Islam dari Mekkah yang menganut paham
Wahabi. Yaitu suatu paham dimana penganut-penganutnya melaksanakan
ajaran Islam secara murni. Di tanah Arab sendiri tujuan gerakan kaum
Wahabi adalah utnuk membersihkan Islam dari Anasir-anasir bid’ah. Kaum
Wahabi menganut Mazhab Hambali dan bertujuan kembali kepada pelaksanaan
Islam berdasarkan Qur’an dan Hadist.
Pada waktu beberapa ulama di
Minangkabau, seperti Tuanku Pamansiangan, Tuanku Nan Tuo di Cangkiang,
Tuanku Nan Renceh dan lain-lain juga sudah melihat ketidak beresan dalam
pelaksanaan praktek ajaran Islam di Minagkabau dan ingin melakukan
pembersihan terhadap hal tersebut, tetapi mereka belum menemukan
bagaimana caranya yang baik. Baru pada tahun 1803 dengan kembalinya tiga
orang haji dari Mekkah, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji
Piobang, sesudah mereka itu menceritakan bagaimana yang dilakukan oleh
gerakan Wahabi disana (di Makkah).
Untuk melaksanakan pembersihan
terhadap ajaran agama Islam itu Tuanku Nan Renceh membentuk suatu badan
yang dinamakan “Harimau Nan Salapan” terdiri dari delapan orang tuanku
yang terkenal pada waktu itu di Minangkabau. Diakhir tahun 1803 mereka
memproklamirkan berdirinya gerakan Paderi dan mulai saat itu mereka
melancarkan gerakan permurnian agama Islam di Minangkabau.
Mula-mula
Paderi memulai gerakan pembersihannya di daerah Luhak Agam yang tidak
terlalu lama telah mereka kuasai, dengan berpusat di Kamang Mudik.
Selanjutnya gerakan Paderi melancarkan kegiatannya ke daerah Lima Puluh
Kota dan di daerah ini mereka mendapat sambutan yang baik dari rakyat
Lima Puluh Kota.
Gerakan kaum paderi baru mendapat perlawanan yang
berat dalam usahanya di Luhak Tanah Datar, karena pada waktu itu Luhak
Tanah Datar masih merupakan pusat kerajaan Pagaruyung yang mempunyai
kebiasaan-kebiasaan tertentu secara tradisional. Tetapi berkat kegigihan
para pejuiang paderi akhirnya daerah Luhak Tanah Datar dapat juga
diperbaharui ajaran Islam nya berdasarkan Qur’an dan Hadist, selanjutnya
gerakan kaum paderi mulai meluas ke daerah rantau.
Pada waktu itu di
daerah Pasaman muncul seorang ulama besar yang membawa rakyatnya ke
arah pembaharuan pelaksanaan ajaran Islam sesuai dengan Alquran dan
Hadist Nabi. Karena gerakannya berpusat di Benteng Bonjol maka ulama
tersebut akhirnya terkenal dengan nama Tuanku Imam Bonjol, yang
semulanya terkenal dengan nama Ahmad Sahab Peto Syarif.
Setelah di
daerah Minangkabau dapat diperbaharaui ajaran Islamnya oleh kaum paderi,
maka gerakan selanjutnya menuju keluar daerah Minangkabau, yaitu ke
daerah Tapanuli Selatan yang akhirnya juga dapat dikuasai dan
menyebarkan ajaran Islam di sana.
Setelah Tuanku Nan Renceh meninggal
tahun 1820, maka pimpinan gerakan paderi diserahkan kepada Tuanku Imam
Bonjol dan diwaktu itu gerakan paderi sudah dihadapkan kepada kekuasaan
Belanda yang semenjak tahun 1819 sudah menerima kembali daerah
Minangkabau dari tangan Inggris.
Karena terjadinya perbenturan kedua
kekuatan di Minangkabau yaitu antara kekuatan paderi di satu pihak yang
berusaha dengan sekuat tenaga menyebarkan agama Islam secara murni
dengan kekuatan Belanda di lain pihak yang ingin meluaskan pengaruhnya
di Minangkabau maka terjadilah ketegangan antara kedua kekuatan itu dan
akhirnya terjadi perang antara kaum paderi dengan Belanda di
Minangkabau. Perang ini terjadi antara tahun 1821-1833. pada akhirnya
rakyat Minangkabau melihat bahwa kekuatan Belanda tidak hanya ditujukan
kepada gerakan kaum paderi saja, maka pada tahun 1833 rakyat Minangkabau
secara keseluruhannya juga mengangkat senjata melawan pihak Belanda.
Perang ini berlangsung sampai tahun 1837.
Tetapi karena kecurangan
dan kelicikan yang dilakukan pihak Belanda akhirnya peperangan itu dapat
dimenangkan Belanda, dalam arti kata semenjak tahun 1837 itu seluruh
daerah Minangkabau jatuh ke bawah kekuasaan pemerintah Hindia Belanda.
Dari
masa inilah Minangkabau di rundung duka yang dalam, karena menjadi anak
jajahan Belanda. Tuanku Imam ditangkap Belanda dengan tipu muslihat,
dikatakan untuk berunding tetapi nyatanya Belanda menangkap beliau,
dibuang semula ke Betawi, tinggal di Kampung Bali, selanjutnya
dipindahkan ke Menado. Ditempat yang sangat jauh dari kampung halaman,
badan yang telah sangat tua itu akhirnya dihentikan Tuhan Dari
penderitaan yang berat, berpulanglah seorang Patriot Islam Minangkabau
dirantau orang.
Beliau telah berjuang sekuat tenaga menegakkan Syiar
Islam di Ranah Minangkabau tercinta ini, jasatnya terbujur disebuah desa
kecil yang sepi bernama “Lotak” nun jauh diujung pulau Selebes,
harapannya kepada kita semua anak Minangkabau, lanjutkan perjuangan
beliau dengan menegakkan akidah Islam dalam kehidupan sehari-hari,
jawabnya barangkali yang paling tepat bagi kita sekarang, ” Mari kita
berbenar-benar menegakkan Adat Basandi Syarak-syarak Basandi Kitabullah “
dalam kehidupan kita.
Untuk menelusuri kapan gerangan nenek moyang orang
Minangkabau itu datang ke Minangkabau, rasanya perlu dibicarakan
mengenai peninggalan lama seperti megalit yang terdapat di Kabupaten
Lima Puluh Kota dan tempat-tempat lain di Minangkabau yang telah berusia
ribuan tahun.Di Kabupaten Lima Puluh Kota peninggalan megalit ini
terdapat di Nagari Durian Tinggi, Guguk, Tiakar, Suliki Gunung Emas,
Harau, Kapur IX, Pangkalan, Koto Baru, Mahat, Koto Gadan, Ranah, Sopan
Gadang, Koto Tinggi, Ampang Gadang.
Seperti umumnya kebudayaan
megalit lainnya berawal dari zaman batu tua dan berkembang sampai ke
zaman perunggu. Kebudayaan megalit merupakan cabang kebudayaan Dongsong.
Megalit seperti yang terdapat disana juga tersebar ke arah timur, juga
terdapat di Nagari Aur Duri di Riau. Semenanjung Melayu, Birma dan
Yunan. Jalan kebudayaan yang ditempuh oleh kebudayaan Dongsong. Dengan
perkataan lain dapat dikatakan bahwa kebudayaan megalit di Kabupaten
Lima Puluh Kota sezaman dengan kebudayaan Dongsong dan didukung oleh
suku bangsa yang sama pula.
Menurut para ahli bahwa pendukung
kebudayaan Dongsong adalah bangsa Austronesia yang dahulu bermukim di
daerah Yunan, Cina Selatan. Mereka datang ke Nusantara dalam dua
gelombang. Gelombang pertama pada Zaman Batu Baru (Neolitikum) yang
diperkirakan pada tahun 2000 sebelum masehi. Gelombang kedua datang
kira-kira pada tahun 500 SM, dan mereka inilah yang diperkirakan menjadi
nenek moyang bangsa Indonesia sekarang.
Bangsa Austronesia yang
datang pada gelombang pertama ke nusantara ini disebut oleh para ahli
dengan bangsa Proto Melayu (Melayu Tua), yang sekarang berkembang
menjadi suku bangsa Barak, Toraja, Dayak, Nias, Mentawai dan lain-lain.
Mereka yang datang pada gelombang kedua disebut Deutero Melayu (Melayu
Muda) yang berkembang menjadi suku bangsa Minangkabau, Jawa, Makasar,
Bugis dan lain-lain.
Dari keterangan tersebut di atas dapat
disimpulkan bahwa nenek moyang orang Minangkabau adalah bangsa melayu
muda dengan kebudayaan megalit yang mulai tersebar di Minangkabau
kira-kira tahun 500 SM sampai abad pertama sebelum masehi yang dikatakan
oleh Dr. Bernet Bronson. Jika pendapat ini kita hubungkan dengan apa
yang diceritakan oleh Tambo mengenai asal-usul orang Minangkabau
kemungkinan cerita Tambo itu ada juga kebenarannya.
Menurut sejarah
Iskandar Zulkarnain Yang Agung menjadi raja Macedonia antara tahun
336-323 s.m. Dia seorang raja yang sangat besar dalam sejarah dunia.
Sejarahnya merupakan sejarah yang penuh dengan penaklukan daerah timur
dan barat yang tiada taranya. Dia berkeinginan untuk menggabungkan
kebudayaan barat dengan kebudayaan timur.
Tokoh Iskandar Zulkarnai
dalam Tambo Minangkabau secara historis tidak dapat diterima
kebenarannya, karena dia memang tidak pernah sampai ke Minangkabau. Di
samping di dalam sejarah Melayu, Hikayat Aceh dan Bustanul Salatin Tokoh
Iskandar Zulkarnain ini juga disebut-sebut, tetapi secara historis
tetap saja merupakan seorang tokoh legendaris.
Sebaliknya tokoh
Maharajo Dirajo yang dikatakan oleh Tambo sebagai salah seorang anak
Iskandar Zulkarnain, kemungkinan merupakan salah seorang Panglima
Iskandar Zulkarnain yang ditugaskan menguasai pulau emas (Sumatera),
termasuk di dalamnya daerah Minangkabau. Dialah yang kemudian menurunkan
para penguasa di Minangkabau, jika kita tafsirkan apa yang dikatakan
Tambo berikutnya. Sayangnya Tambo tidak pernah menyebutkan tentang kapan
peristiwa itu terjadi selain ”pada masa dahulunya” yang mempunyai
banyak sekali penafsirannya.
Tambo juga mengatakan bahwa nenek moyang
orang Minangkabau dari puncak gunung merapi. Hal ini tidak dapat
diartikan seperti yang dikatakan itu, tetapi seperti kebiasaan orang
Minangkabau sendiri harus dicari tafsirannya, karena orang Minangkabau
selalu mengatakan sesuatu melalui kata-kata kiasan, ”tidak tembak
langsung”. Tafsirannya kira-kira sebagai berikut: Sewaktu Maharajo
Dirajo sedang berlayar menuju pulau emas dalam mengemban tugas yang
diberikan oleh Iskandar Zulkarnain, pada suatu saat dia melihat daratan
yang sangat kecil karena masih sangat jauh. Setelah sampai ke daratan
tersebut ternyata sebuah gunung, yaitu gunung merapi yang sangat besar.
Tetapi oleh pewaris Tambo kemudian gunung Merapi sangat kecil yang
mula-mula kelihatan itulah yang dikatakan sebagai tanah asal orang
Minangkabau. Selanjutnya cerita Tambo yang demikian, juga masih ada
sampai sekarang pada zaman kita ini.
Ada baiknya kita kutip apa yang
dikatakan Tambo itu sebagai yang dikatakan oleh Sang Guno Dirajo: ”…Dek
lamo bakalamoan, nampaklah gosong dari lauik, yang sagadang talua itiak,
sadang dilamun-lamun ombak…” (sesudah lama berlayar akhirnya
kelihatanlah pulau yang sangat kecil kira-kira sebesar telur itik yang
kelihatan hanya timbul tenggelam sesuai denga turun naiknya ombak).
Selanjutnya
dikatakan:”…Dek lamo - bakalamoan aia lauik basentak turun, nan gosong
lah basentak naiak, kok dareklah sarupo paco, namun kaba nan bak kian,
lorong kapado niniak kito, lah mendarek maso itu, iyo dipuncak gunuang
marapi…” (karena sudah lama berlayar dan pasang sudah mulai surut,
gosong yang kecil tadi makin besar, daratan yang kelihatan itu tak
obahnya seperti perca, maka dinamakanlah daratan itu dengan pulau perca
yang akhirnya didarati oleh nenek moyang kita yang mendarat kira-kira di
gunung merapi).
Peristiwa inilah yang digambarkan oleh mamangan adat
Minangkabau berbunyi “dari mano titiak palito, dari telong nan barapi,
dari mano asal niniak kito, dari puncah gunuang marapi” (dari mana titik
pelita dari telong yang berapi, dari mana datang nenek kita, dari
puncak gunung merapi). Mamangan adat ini sampai sekarang masih dipercaya
oleh sebagian besar masyarakat Minangkabau..
Bagi kita yang menarik
dari cerita Tambo ini bukanlah mengenai arti kata-katanya melainkan
adalah cerita itu memberikan indikasi kepada kita tentang nenek moyang
orang Minangkabau asalnya datang dari laut, (dengan berlayar) yang
waktunya sangat lama. Kedatangan nenek moyang inilah yang dapat
disamakan dengan masuknya nenek moyang orang Minangkabau. Dengan
demikian masuknya nenek moyang orang Minangkabau dapat diperkirakan
waktu kedatangannya: yaitu antara abad kelima sebelum masehi dengan abad
pertama sebelum masehi, sesuai dengan umur kebudayaan megalit itu
sendiri.
Kembali kepada permasalahan pokok pada bagian ini, maka
menurut Soekomo, tradisi Megalit pada mulanya merupakan batu yang
dipergunakan sebagai lambang untuk memperingati seorang kepala suku.
Sesudah kepala suku itu meninggal, akhirnya peringatan itu berubah
menjadi penghormatan yang lambat laun menjadi tanda pemujaan kepada
arwah nenek moyang.
Bagaimana dengan megalit yang terdapat di
Minangkabau? Barangkali fungsi pemujaan terhadap arwah nenek moyang
masih tetap berlanjut, seperti Menhir lainnya di Indonesia. Tetapi jika
kita hubungkan Menhir itu dengan kehidupan orang Minangkabau yang
berkaitan dengan Medan Nan Bapaneh, yaitu tempat duduk bermusyawarah
dalam masyarakat Minangkabau sudah mulai berkembang pada zaman pra
sejarah, khususnya di zaman berkembangnya tradisi menhir di Minangkabau
dan keadaan ini sudah berlangsung semenjak sebelum abad masehi.
Dari
peninggalan menhir dan keterangan-keterangan yang diberikan oleh pemuka
masyarakat sekarang di tempat-tempat menhir itu terdapat seperti di
Sungai Belantik, Andieng, Kubang Tungkek, Tiakat, Padang Japang,
Limbanang, Talang Anau, Padang Kandih, Balubus, Koto Tangah,
Simalanggang, Taeh Baruh, Talago, Ampang Gadang seperti yang dikatakan
oleh Yuwono Sudibyo, sebagai berikut:”Bahwa ketika sekelompok nenek
moyang telah menemukan tempat bermukim, yang pertama-tama ditetapkan
atau dicari adalah suatu lokasi yang dinamakan gelanggang. Di gelanggang
ini dilakukan upacara, yaitu semacam upacara selamatan untuk
menghormati kepala suku atau pemimpin rombongan yang telah membawa
mereka ke suatu tempat bermukim. Sebagai tanda upacara didirikanlah Batu
Tagak yang kemudian kita kenal sebagai menhir. Batu Tagak ini kemudian
berubah fungsi, sebahagian menjadi tanda penghormatan kepada arwah nenek
moyang dan sebahagian tempat bermusyawarah yang kemudian kita kenal
dengan nama Medan nan Bapaneh”.
Karena sudah ada kehidupan
bermusyawarah, sudah barang tentu pula masyarakat sudah hidup menetap
dengan berburu dan pertanian sebagai mata pencaharian yang utama. Hal
ini sesuai pula dengan kehidupan para pendukung kebudayaan Dongsong yang
sudah menetap. Jika sekiranya peninggalan-peninggalan pra sejarah
Minangkabau sudah diteliti dengan digali lebih lanjut, barangkali akan
ditemui peninggalan-peninggalan yang mendukung kehidupan berburu dan
bertani tersebut.
Diwaktu itu sudah dapat diperkirakan bahwa antara
Adat Nan Sabana Adat sudah hidup di tengah-tengah masyarakat
Minangkabau, mengingat akan ajaran adat Minangkabau itu sendiri, yaitu
Alam Takambang jadikan guru. Sedangkan Adat Nan Sabana Adat berisi
tentang hukum-hukum alam yang tidak berubah dari dahulu sampai sekarang
seperti dikatakan: Adat api mambaka, adat aia mamabasahi, adat tajam
malukoi, adat runciang mancucuak dan sebagainya (Adat api membakar, adat
air membasahi, adat tajam melukai, adat runcing mencucuk).
Demikian
juga dengan Adat Nan Diadatkan sudah ada waktu itu, yaitu sebagai hukum
yang berlaku dalam masyarakat. Barangkali di zaman inilah berlakunya apa
yang dikenal dengan hukum adat yang bersifat zalim dan tidak boleh
dibantah yaitu hukum adat yang bernama “Simumbang Jatuah” (simumbang
jatuh), mumbang kalau jatuh tidak dapat dikembalikan ke tempatnya lagi.
Selanjutnya juga ada hukum yang bernama “si gamak-gamak”, yaitu suatu
aturan yang tidak dipikirkan masak-masak. Disamping itu juga terdapat
hukum yang dinamakan “Si lamo-lamo” yaitu siapa kuat siapa di atas
persis seperti hukum rimba.
Barangkali hukum yang dinamakan “Hukum
Tariak Baleh” juga berlaku di zaman ini. Hukum Tariak Baleh hampir sama
dengan hukum Kisas dalam agama Islam, misalnya orang yang membunuh harus
di hukum bunuh pula.
Keempat macam hukum adat itu memang sesuai
dengan zamannya dimana belum terlalu banyak pertimbangan terhadap suatu
yang dihadapi dalam kehidupan. Sampai kapan berlakunya hukum ini mungkin
berlangsung sampai masuknya agama Islam pertama ke Minangkabau
kira-kira abad ketujuh.
Zaman Purba Minangkabau berakhir dengan
masuknya Islam ke Minangkabau, yaitu kira-kira abad ketujuh, dimana buat
pertama kali di Sumatra Barat sudah didapati kelompok masyarakat Arab
tahun 674. Kelompok masyarakat Arab ini sudah menganut agama Islam,
bagaimanapun rendahnya pendidikan waktu itu, tentu sudah pandai tulis
baca, karena ajaran Islam harus diperoleh dari Qur’an dan Hadist Nabi
yang semuanya sudah dituliskan dalam bahasa Arab. Dengan demikian
diakhir bahagian ketiga abad ketujuh itu zaman purba Minangkabau sudah
berakhir.
A.2. Zaman Mula Sejarah Minangkabau
Yang dimaksud
dengan zaman mula sejarah Minangkabau ialah zaman yang meliputi kurun
waktu antara abad pertama Masehi dengan abad ketujuh. Dalam masa
tersebut masa pra Sejarah masih berlanjut, tetapi masa itu dilengkapi
dengan adanya berita-berita tertulis tertua mengenai Minangkabau seperti
istilah San-Fo Tsi dari berita Cina yang dapat dibaca sebagai Tambesi
yang terdapat di Jambi. Di daerah Indonesia lainnya juga sudah terdapat
berita atau tulisan seperti kerajaan Mulawarman di Kutai Kalimantan dan
Tarumanegara di Jawa Barat. Namun dari berita-berita itu belum banyak
yang dapat kita ambil sebagai bahan untuk menyusun sebuah ceritera
sejarah, karena memang masih sangat sedikit sekali dan masing-masingnya
seakan-akan berdiri sendiri tanpa ada hubungan sama sekali. Untuk zaman
ini Soekomono memberikan nama zaman Proto Sejarah Indonesia, yaitu
peralihan dari zaman Prasejarah ke zaman sejarah.Berita dai Tambo dan
ceritera rakyat Minangkabau hanya mengemukakan secara semu mengenai hal
ini, yaitu hanya menyebutkan tentang kehidupan orang Minangkabau zaman
dahulu. Dalam hal ini Tambo mengemukakan sebagai berikut: ”…tak kalo
maso dahulu…”…(Diwaktu zaman dahulu),. ”…dari tahun musim baganti, dek
zaman tuka – batuka, dek lamo maso nan talampau, tahun jo musim nan
balansuang…” (Karena tahun musim berganti, karena zaman bertukar-tukar,
karena masa yang telah lewat, tahun dengan musim yang berlangsung),”…
Antah barapo kalamonyo…”(entah berapa lamanya), dari ungkapan waktu yang
demikian memang sulit sekali menentukan kapan terjadinya. Pengertian
zaman dahulu itu saja sudah mengandung banyak kemungkinan tafsiran dan
sangat relatif.
Barangkali kehidupan zaman mula sejarah Minangkabau
ini hampir sama dengan kehidupan pada zaman Pra sejarahnya, hanya saja
di akhir zaman mula sejarah ini agama Islam sudah masuk ke Minangkabau
dan sudah ada berita-berita dari Cina. Dapat dikatakan, bahwa cerita
sejarah untuk zaman mula sejarah Minangkabau ini sangat sedikit sekali,
bahkan dapat dikatakan merupakan zaman yang paling gelap dalam sejarah
Minangkabau. Demikian gelapnya untuk menghubungkan zaman Pra Sejarah
dengan zaman sejarahnya kita tidak mempunyai sumber sama sekali, bukan
lagi kabur, tetapi sudah gelap gulita.
A.3. Zaman Minangkabau
Timur
Istilah ini dipinjam dari istilah yang dikemukakan oleh Drs. M.
D. Mansoer dkk, dalam bukunya, Sejarah Minangkabau, dikatakannya
Minangkabau mengalami dua periode, yaitu periode Minangkabau Timur yang
berlangsung antara abad ketujuh sampai kira-kira tahun 1350 dan periode
Minangkabau Pagaruyung antara tahun 1347-1809.
Dikatakannya, bahwa
kerajaan-kerajaan lama, pusat perdagangan lada, pusat perekonomian,
politik dan budaya yang pertama timbul dan berkembang di Minangkabau
adalah di lembah aliran Batang Hari dan Sungai Dareh. Daerah itu
berkembang pada abad ke tujuh sampai pertengahan abad keempat belas.
Secara
geografis memang pantai timur pulau Sumatera lebih memungkinkan untuk
dilayari oleh kapal-kapal dagang yang dapat berlayar sampai masuk jauh
kepedalaman. Daerah pantai Sumatera Timur ini pulalah yangdahulu
didatangi oleh nenek moyang orang Minangkabau yang berlayar sampai ke
daerah Mahat di Kabupaten Lima Puluh Kota sebelah Utara.
Pedagang-pedagang Islam yang mula-mula ke Minangkabau juga melalui
daerah ini, sehingga perdagangan diwaktu periode Minangkabau ini menjadi
sangat ramai sekali, bukan itu saja, Islam pertama pun masuk dari sini,
baik yang dibawa oleh pedagang-pedagang dari Arab sendiri, maupun yang
dibawa oleh pedagang-pedagang dari Persia, Hindustan, Cina, India dan
lain-lain.
Pada permulaan abad Masehi perpindahan bangsa-bangsa dari
utara ke selatan telah berakhir. Mereka telah menetap di sepanjang
pantai kepulauan Nusantara. Setelah mereka menempati kepulauan Nusantara
dan hidup secara terpisah, akhirnya karena lingkungan alam kehidupan
bahasa yang mereka pergunakan pun mengalami perubahan seperti yang kita
kenal sekarang dengan suku-suku bangsa Minangkabau, Jawa, Bugis, Madura,
Sunda, Bali dan lain-lain.
Pada zaman purbakala, di Asia terdapat
dua jalan perdagangan yang ramai antara Barat dan Timur, yaitu melalui
darat dan laut, jalan yang melalui darat disebut jalan Sutera, mulai
dari daratan Cina melalui Asia Tengah sampai ke Laut Tengah. Perhubungan
darat ini sudah mulai semenjak abad kelima sebelum Masehi. Waktu
dimulainya perpindahan bangsa Melayu Muda ke arah selatan. Perhubungan
darat ini terutama menghubungkan antara Cina dengan Benua Eropah
(Romawi) diwaktu itu dibawah raja Iskandar Zulkarnain dan selanjutnya
dengan menyinggahi daerah sepanjang perjalanan seperti India, Persia dan
lain-lain.
Perhubungan laut ialah dari Cina dan Indonesia melalui
selat Malaka terus ke Teluk Persia dan Laut Tengah. Perhubungan laut ini
menjadi sangat ramai pada awal abad pertama Masehi, karena jalan darat
mulai tidak aman lagi. Sejak waktu itulah daerah-daerah di Pantai Timur
Sumatera dan Pantai Utara Jawa menjadi daerah perhubungan antara
perdagangan Arab, India dan Cina. Keadaan ini memungkinkan
pedagang-pedagang Indonesia, termasuk di dalamnya pedagang-pedagang
Minangkabau ikut aktif berdagang.
Dengan aktifnya pedagang-pedagang
Minangkabau dalam perdagangan dengan India, maka terbuka pulalah
perhubungan antara kebudayaannya. Dari sini dapat kita lihat masuknya
pengaruh Hindu ke Minangkabau melalui daerah pantai timur pulau
Sumatera. Dalam abad kedua setelah Indonesia mempunyai perhubungan
dengan India dan selama enam abad berturut-turut pengaruh Hindu di
Indonesia besar sekali.
Jadi karena keadaan, pedagang-pedagang
Minangkabau ikut terlibat dalam kancah lalu lintas perdagangan yang
ramai di Asia. Keadaan itu pulalah yang menyebabkan Minangkabau di
daerah aslinya sendiri yang jauh terletak di pedalaman.
Karena selat
Malaka sangat ramai dilalui oleh kapal-kapal dagang dari Cina dan India
maka salah satu bandar diselat itu bertumbuh dengan pesatnya sehingga
akhirnya umbuh menjadi kerajaan Melayu. Kerajaan Melayu ini menurut para
ahli berpusat di daerah Jambi yang sekarang dan diperkirakan berdirinya
pada awal abad ketujuh Masehi. Nama Melayu pertama kalinya muncul dalam
cerita Cina. Dalam buku Tseh Fu-ji Kwei diterangkan bahwa pada tahun
664 dan 665 kerajaan Melayu mengirimkan utusan kenegeri Cina untuk
mempersembahkan hasilnya pada raja Cina. Pada waktu itu daerah
Minangkabau merupakan daerah penghasil merica yang utama di dunia.
Rupanya
Minangkabau Timur tidak lama memegang peranan dalam perdagangan di
Selat Malaka, kareana sesudah muncul kerajaan Melayu dan kemudian
sesudah kerajaan Melayu jatuh di bawah kekuasaan Sriwijaya, Minangkabau
Timur menjadi bahagian dari kerajan Sriwijaya.
Dengan berdirinya
kerajaan Melayu dan kerajaan Sriwijaya kelihatan peranan Minangkabau
Timur tidak ada lagi, karena berita-berita dari Cina hanya ada menyebut
tentang Melayu dan Sriwijaya saja.
Dalam satu buku yang disusun oleh
It-Tsing dapat kita ketahui bahwa dalam tahun 690 Masehi, Sriwijaya
meluaskan daerah kekuasaannya dan kerajaan Melayu dapat ditaklukannya
sebelum tahun 692 Masehi.
Kerajaan Sriwijaya merupakan salah satu
kerajaan pantai, negara perniagaan dan perdagangan internasional dari
Asia Timur ke Asia Barat. Selama lebih kurang enam abad kerajaan
Sriwijaya merupakan kerajaan utama di daerah nusantara waktu itu. Namun
sementara itu di Jawa mulai timbul kerajaan-kerajaan baru yang
lama-kelamaan menjadi saingan utama dari kerajaan Sriwijawa dalam
merebut hegemoni perdagangan di wilayah nusantara yang menyebabkan
lemahnya Sriwijaya.
Dalam hal ini lawan kerajaan Sriwijaya yang utama
adalah kerajaan Kediri di Jawa Timur dan Kerajaan Colamandala di India
selatan. Dari kelemahan Sriwijaya itu, rupanya kerajaan Melayu dapat
melepaskan diri dari Sriwijaya dan dapat memperkuat diri kembali dengan
memindahkan ibu kota kerajaan ke daerah hulu Sungai Batang Hari.
Kerajaannya dinamakan dengan Darmasraya. Hal ini dapat diketahui dari
prasasti Padang Candi tahun 1286 yang terdapat di Sungai Langsat Si
Guntur dekat Sungai Dareh dalam Propinsi Sumatera Barat sekarang.
Pada
tahun 1275, Raja Kertanegara dari kerajaan Singosari (kerajaan yang
menggantikan kekuasaan Kediri di Jawa Timur) mengirimkan suatu ekspedisi
militer ke Sumatera dalam rangka melemahkan kekuasaan Sriwijaya dan
memperluas pengaruhnya di Nusantara. Ekspedisi ini dikenal dalam sejarah
Indonesia dengan nama ekspedisi Pamalayu.
Sebagai hasil dari
ekspedisi itu, maka Kertanegara pada tahun 1286 mengirimkan acara
Amogapasa ke Sumatera sebagai hadiah untuk raja dan rakyat kerajaan
Melayu. Dengan kejadian ini dapat diartikan, bahwa semenjak peristiwa
itu kerajaan Melayu sudah mengikuti kerajaan Singosari dan menjadi
daerah tumpuan untuk menghadapi kemungkinan serangan dari negeri Cina
akibat peristiwa penghinaan terhadap utusan Cina sebelumnya.
A.4.
Maharajo Dirajo
Dalam hal ini timbul suatu kontradiksi
keterangan-keterangan, yaitu nama Maharajo Dirajo sudah disebutkan
sebelumnya sebagai salah seorang panglima Iskandar Zulkarnain yang
tugaskan menguasai Pulau Emas. Kalau memang demikian keadaannya, lalu
bagaimana dengan Maharajo Dirajo yang sedang kita bicarakan ini yang
waktunya sudah sangat jauh berbeda. Dalam hal ini kita tidak dapat
memberikan jawaban yang pasti. Maharajo Dirajo yang sudah kita bicarakan
hanya merupakan perkiraan saja dan belum tentu benar. Tetapi
berdasarkan logika berfikir kira-kira diwaktu itulah hidupnya Maharajo
Dirajo jika dihubungkan dengan nama Iskandar Zulkarnain. Sedangkan
Maharajo Dirajo yang sedang dibicarakan sekarang ini adalah seperti yang
dikatakan Tambo Alam Minangkabau yang mana yang benar perlu penelitian
lebih lanjut. Dalam kesempatan ini kita hanya ingin memperlihatkan
betapa rawannya penafsiran dari data yang diberikan Tambo Alam
Minangkabau.
Maharajo Dirajo yang sekarang dibicarakan adalah
Maharajo Dirajo seperti yang dikatakan Tambo. Dalam hal ini kita ingin
mengangkat data dari Tambo menjadi Fakta sejarah Minangkabau.
Dalam
Tambo disebutkan bahwa Iskandar Zulkarnain mempunyai tiga anak, yaitu
Maharajo Alif, Maharajo Dipang, dan Maharajo Dirajo. Maharajo Alif
menjadi raja di Benua Ruhun (Romawi), tetapi Josselin de Jong
mengatakan, menjadi raja di Turki. Maharajo Dipang menjadi raja di
negeri Cina, sedangkan Maharajo Dirajo menjadi raja di Pulau Emas
(Sumatera).
Kalau kita melihat kalimat-kalimat Tambo sendiri, maka
dikatakan sebagai berikut: “…Tatkala maso dahulu, batigo rajo naiek
nobat, nan sorang Maharajo Alif, nan pai ka banua Ruhun, nan sorang
Maharajo Dipang nan pai ka Nagari Cino, nan sorang Maharajo Dirajo
manapek ka pulau ameh nan ko…” (pada masa dahulu kala, ada tiga orang
yang naik tahta kerajaan, seorang bernama Maharaja Alif yang pergi ke
negeri Ruhun, yang seorang Maharajo Dipang yang pergi ke negeri Cina,
dan seorang lagi bernama Maharajo Dirajo yang menepat ke pulau
Sumatera).
Dari keterangan Tambo itu tidak ada dikatakan angka
tahunnya hanya dengan istilah “Masa dahulu kala” itulah yang memberikan
petunjuk kepada kita bahwa kejadian itu sudah berlangsung sangat lama
sekali, sedangkan waktu yang mencakup zaman dahulu kala itu sangat
banyak sekali dan tidak ada kepastiannya. Kita hanya akan bertanya-tanya
atau menduga-duga dengan tidak akan mendapat jawaban yang pasti. Di
kerajaan Romawi atau Cina memang ada sejarah raja-raja yang besar,
tetapi raja mana yang dimaksudkan oleh Tambo tidak kita ketahui. Dalam
hal ini rupanya Tambo Alam Minangkabau tidak mementingkan angka tahun
selain dari mementingkan kebesaran kemasyuran nama-nama rajanya.
Percantuman
raja Romawi dalam Tambo menurut hemat kita hanya usaha dari pembuat
Tambo untuk menyetarakan kemasyhuran raja Minangkabau dengan nama raja
di luar negeri yang memang sudah sangat terkenal di seantero penjuru
dunia.
Dengan mensejajarkan kedudukan raja-raja Minangkabau dengan
raja yang sangat terkenal itu maka pandangan rakyat Minangkabau terhadap
rajanya sendiri akan semakin tinggi pula. Disini kita bertemu dengan
satu kebiasaan dunia Timur untuk mendongengkan tuah kebesaran rajanya
kepada anak cucunya.
Gelar Maharajo Dirajo sendiri terlepas ada
tidaknya raja tersebut, menunjukan kebesaran kekuasaan rajanya, karena
istilah itu berarti penguasa sekalian raja-raja yang tunduk di bawah
kekuasaannya. Josselin de Jong mengatakan Lord of the Word atau Raja
Dunia.
Dalam sejarah Indonesia gelar Maharaja Diraja tidak hanya
menjadi milik orang Minangkabau saja, melainkan juga ada raja lain yang
bergelar demikian seperti Karta Negara dari Singasari dengan gelar
Maharaja Diraja seperti yang tertulis pada arca Amogapasa tahun 1286
sebagai atasan dari Darmasraya yang bernama raja Tribuana.
Tambo
mengatakan bahwa Maharajo Dirajo adalah raja Minangkabau pertama. Tetapi
ada pendapat lain yang mengatakan bahwa Srimaharaja Diraja yang disebut
dalam tambo sebagai raja Minangkabau yang pertama itu tidak lain dari
Adityawarman sendiri yang menyebut dirinya dengan Maraja Diraja. Tentang
Adityawarman mempergunakan gelar Maharaja Diraja memang semua ahli
sudah sependapat, karena Adityawarman sendiri telah menulis demikian
dalam prasasti Pagaruyung.
Dari gelar Maharaja Diraja yang dipakai
Adityawarman menunjukan kepada kita bahwa sewaktu Adityawarman berkuasa
di Minangkabau tidak ada lagi kekuasaan lain yang ada di atasnya, atau
dengan perkataan lain dapat dikatakan pada waktu itu Minangkabau sudah
berdiri sendiri, tidak berada di bawah kekuasaan Majapahit atau sudah
melepaskan diri dari Majapahit. Kerajaan Majapahit adalah ahli waris
dari Singasari. Sedangkan Singasari pernah menundukkan melayu
Darmasraya, tentu berada di bawah kekuasaan Singasari - Majapahit itu,
maka untuk melepaskan diri dari Singasari - Majapahit itu Adiyawarman
memindahkan pusat kekuasaannya kepedalaman Minangkabau dan menyatakan
tidak ada lagi yang berkuasa di atasnya dengan memakai gelar Maharaja
Diraja.
Ada sesuatu pertanyaan kecil yang perlu dijawab, yaitu apakah
tidak ada lagi kemungkinan bahwa gelar Maharajo Dirajo itu merupakan
gelar keturunan bagi raja-raja Minangkabau, sehingga diwaktu
Adityawarman menjadi raja di Minangkabau dia merasa perlu mempergunakan
gelar tersebut agar dihormati oleh rakyat Minangkabau. Kalau memang
demikian, maka kita akan dapat menghubungkannya dengan Maharajo Dirajo
yang kita bicarakan kehidupannya sebelum abad Masehi. Tetapi hal ini
kembali hanya berupa dugaan saja yang masih memerlukan pembuktian lebih
lanjut.
Kalau kita mengikuti pendapat yang mengatakan bahwa Maharaja
Diraja itu sama dengan Adityawarman, maka satu kepastian dapat dikatakan
bahwa kerajaan Minangkabau baru bermula pad tahun 1347, yaitu pada
waktu Adityawarman menjadi raja di Minangkabau yang berpusat di
Pagaruyuang. Logikanya tentu sebelum Adityawarman, belum ada raja di
Minangkabau, kalau ada baru merupakan daerah-daerahyang dikuasai oleh
seorang kepala suku saja. Kalau pendapat itu tidak dapat diterima
kebenarannya, maka tokoh Maharajo Dirajo yang disebut di dalam Tambo itu
masih tetap merupakan seorang tokoh legendaris dalam sejarah
Minangkabau dan hal ini akan tetap mengundang bermacam-macam pertanyaan
yang pro dan kontra.
Kemungkinan gelar Maharajo sudah dipergunakan
sebelum kedatangan Adityawarman memang ada. Tetapi apakah gelar itu
merupakan gelar keturunan dari raja-raja Minangkabau masih belum lagi
dapat diketahui dengan pasti. Yang jelas pada waktu sekarang ini, banyak
gelar para penghulu di Sumatera Barat yang memakai gelar Maharajo
sebagai gelar kepenghulunya disamping nama lainnya, seperti Dt.
Maharajo, Dt. Marajo, Dt. Maharajo Basa, Dt. Maharajo Dirajo.
Kelihatan
gelar tersebut dipergunakan oleh masyarakat Minangkabau sebagai gelar
pusaka yang turun-menurun. Sebaliknya raja-raja Pagaruyung sendiri tidak
mempergunakan gelar tersebut sebagai pusaka kerajaannya. Jadi, dapat
disimpulkan bahwa gelar Maharajo Dirajo tersebut merupakan gelar pusaka
Minangkabau dan sudah ada sebelum Adityawarman menjadi raja di
Pagaruyung. Barangkali memang gelar itu diturunkan dari Maharajo dirajo
seperti disebutkan dalam Tambo itu.
A.5. Suri Dirajo, Cati Bilang
Pandai Dan Indo Jati
Ketiga nama ini hanya terdapat dalam Tambo atau
kaba yang banyak terdapat dalam masyarakat Sumatera Barat sekarang ini.
Dari situlah bersumbernya ketiga nama tersebut, sedangkan sumber-sumber
sejarah lainnya seperti prasasti dan tulisan lainnya tidak ada menyebut
ketiga nama tersebut. Namun, sama halnya dengan nama Iskandar
Zulkarnaen rakyat Sumatera Barat mempercayai ketiga nama tersebut
sebagai cikal bakal orang Minangkabau.
Menurut Tambo Zuriat Sultan
Iskandar Zulkarnaen, sewaktu Maharajo bertolak dari Tanah Basa, (India
Selatan) memimpin satu rombongan yang terdiri dari: Suri Dirajo, Indo
Jati, Cati bilang Pandai, dan beberapa rombongan dari Campa, Siam,
Kambai dan lain-lain berlayar mengarungi lautan Indonesia lalu menetap
ke gunung Merapi. P. E. Josselin de Jong juga menyebutkan nama Cati
Bilang Pandai sebagai penasehat dari Maharajo.
Perlu dijelaskan bahwa
nama Indo Jati sering disebutkan dengan sebutan yang berbeda, walaupun
orangnya itu juga. Hamka menyebutkan dengan nama Indo Jelita atau dengan
nama lain Ceti Reno Sudah. PE Josselin de Jong menyebut dengan nama
Indo Calita. Sedangkan untuk kedua nama yang lain tidak ada perbedaan
sebutan. Sekarang timbul pertanyaan: Apakah ketiga nama itu betul-betul
merupakan nenek moyang orang Minangkabau di zaman dahulu dengan
pengertian benar-benar ada dalam sejarah Minangkabau. Jawabannnya mudah
saja, karena tidak ada bukti-bukti lain yang akan mendukung, maka secara
historis ketiga tokoh ini hanya merupakan tokoh legendaris belaka dalam
sejarah Minangkabau. Keberadaannya sebagai tokoh sejarah tidak dapat
dibuktikan.
Namun demikian, hampir semua Tambo Minangkabau sependapat
mengatakan bahwa Suri Dirajo dan Cati Bilang Pandai adalah tokoh yang
melambangkan orang pandai, ahli pikir, baik di bidang pemerintahan
maupun di bidang kemasyarakatan. Segala sesuatu yang dikerjakan,
terlebih dahulu harus mendapat persetujuan dari salah seorang kedua
tokoh itu, demikian besar pengaruhnya di samping Maharajo Dirajo
sendiri.
Sedangkan menurut Hamka, tokoh Indo Jati yang disebutnya
sebagai Indra Jati melambangkan sesuatu yang luhur asal-usulnya. Dalam
kepercayaan Hindu nama Indra adalah nama seorang dewa yang merupakan
salah seorang dewa utama Trimurti. Indra adalah salah satu penjelmaan
Wisnu sebagai Dewa Matahari. Gelar dewa jelas menunjukkan seorang
kesatria yang berdarah luhur. Jadi tokoh Indo Jati adalah salah seorang
tokoh wanita kesatria dari rombongan Maharajo Dirajo.
A.6. Datuk
Ketumanggungan Dan Datuk Perpatih Nan Sabatang
Siapa tokoh ini?.
Apakah mereka juga merupakan dua orang legendaris sejarah Minangkabau?.
Atau apakah keduanya merupakan tokoh historis sejarah Minangkabau yang
benar-benar ada dan hidup dalam sejarah Minangkabau pada masa dahulu.
Penjelasan berikut ini dapat menjawab beberapa pertanyaan itu.
Suku
bangsa Minangkabau, dari dahulu hingga sekarang, mempercayai dengan
penuh keyakinan, bahwa kedua orang tokoh itu merupakan pendiri Adat Koto
Piliang dan Adat Bodi Caniago yang sampai sekarang masih hidup subur di
dalam masyarakat Minangkabau, baik yang ada di Sumatera Barat sendiri
maupun yang ada diperantauan.
Demikian kokohnya sendi-sendi kedua
adat itu sehingga tidak dapat digoyahkan oleh bermacam-macam pengaruh
dari luar, dengan pengertian akan segera mengadakan reaksi membalik
apabila terjadi perbenturan terhadap unsur-unsur pokok adat itu. Hal ini
telah dibuktikan oleh perputaran masa terhadap kedua adat itu.
Ada
petunjuk bagi kita bahwa kedua tokoh itu memang merupakan tokoh sejarah
Minangkabau. Pitono mengambil kesimpulan bahwa dari bait kedua prasasti
pada bagian belakang arca Amogapasa, antara tokoh adat Datuk Perpatih
Nan Sabatang dengan tokoh Dewa Tuhan Perpatih yang tertulis pada arca
itu adalah satu tokoh yang sama.
Dijelaskan selanjutnya bahwa pada
prasasti itu tokoh Dewa Tuhan Perpatih sebagai salah seorang terkemuka
dari raja Adityawarman yaitu salah seorang menterinya. Jadi tokoh Dewa
Tuhan yang ada pada prasasti yang terdapat di Padang Candi itu adalah
sama dengan Datuk Perpatih Nan Sabatang. Demikian kesimpulannya.
Kalau
pendapat ini memang benar, maka dapat pula dibenarkan bahwa tokoh Datuk
Perpatih Nan Sabatang itu adalah merupakan salah seorang tokoh historis
dalam sejarah Minangkabau, karena namanya juga tertulis pada salah satu
prasasti sebagai peninggalan sejarah yang nyata-nyata ada.
Bukti
lain mengenai kehadiran tokoh tersebut dalam sejarah Minangkabau adalah
dengan adanya Batu Batikam di Dusun Tuo Lima Kaum, Batusangkar.
Dikatakan dalam Tambo, bahwa sebagai tanda persetujuan antara Datuk
Perpatih Nan Sabatang dengan Datuk Ketumanggungan, Datuk Perpatih Nan
Sabatang menikamkan kerisnya kepada sebuah batu, hal ini sebagai
peringatan bagi anak cucunya dikemudian hari. Sebelum peristiwa ini
terjadi antara kedua tokoh adat itu terjadi sedikit kesalah pahaman.
Adanya Batu Batikam itu yang sampai sekarang masih terawat dengan baik,
dan ini membuktikan kepada kita bahwa kedua tokoh itu memang ada dalam
sejarah Minangkabau, bukan sekedar sebagai tokoh dongeng saja
sebagaimana banyak ahli-ahli barat mengatakannya.
Bukti lain dalam
hikayat raja-raja Pasai. Dikatakan bahwa dalam salah satu perundingan
dengan Gajah Mada yang berhadapan dari Minangkabau adalah Datuk Perpatih
Nan Sabantang tersebut. Hal ini membuktikan pula akan kehadiran tokoh
itu dalam sejarah Minangkabau.
Di Negeri Sembilan, sebagai bekas
daerah rantau Minangkabau seperti dikatakan Tambo, sampai sekarang juga
dikenal Adat Perpatih. Malahan peraturan adat yang berlaku di rantau
sama dengan peraturan adat yang berlaku di daerah asalnya. Hal ini juga
merupakan petunjuk tentang kehadiran Datuk Parpatih Nan Sabantang dalam
sejarah Minangkabau. Menurut pendiri adat Koto Piliang oleh Datuk
Ketumanggungan dan Adat Budi Caniago oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang.
Sesudah
ternyata terbukti bahwa kedua tokoh itu benar-benar hadir dalam sejarah
Minangkabau, maka ada hal sedikit yang kurang benar yang dikemukakan
oleh Pinoto. Dia mengatakan bahwa kedua tokoh itu merupakan pembesar
dengan kedudukan menteri dalam kerajaan Adiyawarman. Tetapi pencantuman
kedua tokoh itu dalam Prasasti Adityawarman tidaklah berarti bahwa
menjadi menterinya, melainkan untuk menghormatinya, karena sebelum
Adityawarman datang, kedua tokoh itu sudah ada di Minangkabau yang
sangat dihormati oleh rakyatnya. Maka oleh Adityawarman untuk
menghormati kedudukan kedua tokoh itu dicantumkan nama mereka pada
prasastinya. Tidak sembarang orang yang dapat dicantumkan di dalam
prasasti itu, kecuali tokoh yang betul-betul sangat terhormat.
Walaupun
Datuk Parpatih Nan Sabatang dan Datuk Ketumanggungan sudah merupakan
tokoh historis dalam sejarah Minangkabau sesuai dengan bukti-bukti yang
dikemukakan, akan tetapi keduanya bukanlah merupakan raja Minangkabau,
melainkan sebagai pemimpin masyarakat dan penyusun kedua adat yang hidup
dalam masyarakat Minangkabau sekarang ini, yaitu adat Koto Piliang dan
Adat Bodi Caniago, bagi masyarakat Minangkabau sendiri kedudukan yang
sedemikian, jauh lebih tinggi martabatnya dari kedudukan seorang raja
yang manapun.
Antara Datuk Parpatih Nan Sabatang dan Datuk
Ketumanggungan adalah dua orang bersaudara satu Ibu berlainan Ayah.
Karena ada sedikit perbedaan dari apa yang dikatakan Tambo mengenai
siapa ayah dan ibu dari kedua orang itu, rasanya pada kesempatan ini
tidak perlu dibicarakan perbedaan itu. Tetapi dari apa yang dikatakan
itu dapat ditarik kesimpulan bahwa ayah Datuk Ketumanggungan adalah
suami pertama ibunya (Indo Jati). Berasal dari yang berdarah luhur atau
dari keturunan raja-raja. Sedangkan ayah dari Datuk Parpatih Nan
Sabatang adalah Cati Bilang Pandai suami kedua ibunya yang berasal dari
India Selatan juga. Perbedaan darah leluhur dari keduanya itu
menyebabkan nantinya ada sedikit perbedaan dalam ajaran yang disusun
mereka. Kesimpulannya adalah bahwa kedua orang itu yaitu Datuk
Ketumanggungan dan Datuk Parpatih Nan Sabatang adalah dua tokoh historis
dalam sejarah Minangkabau, bukan tokoh legendaris sebagaimana yang
dianggap oleh kebanyakan penulis-penulis barat.
A.7. Masa
Pemerintahan Adityawarman
Adityawarman bukan raja di Minangkabau,
melainkan adalah raja di kerajaan Pagaruyung yang merupakan salah satu
periode dari sejarah Minangkabau yang sangat panjang. Agar tidak
mendatangkan keraguan kepada kita, maka kerajaan yang diperintahkan oleh
Adityawarman kita namai kerajaan Pagaruyung saja.
Untuk mengetahui
siapa sebenarnya Adityawarman, perlu kita tinjau kembali hasil dari
ekspedisi Pamalayu oleh Kartanegara pada tahun 1275, bukan hasil secara
keseluruhan melainkan hasil yang berhubungan dengan asal-usul
Adityawarman saja.
Setelah ekspedisi itu berhasil, maka sewaktu
rombongan ekspedisi kembali ke Jawa, mereka membawa Dara Jingga dan Dara
Petak. Sesampai di Jawa kerajaan Singasari telah diganti oleh kerajaan
Majapahit. Maka Dara Petak diambil sebagai selir oleh Raden Wijaya yang
menjadi raja pertama kerajaan Majapahit. Dari perkawinan ini nanti akan
melahirkan seorang putra yang pada waktunya akan menjadi raja di
Majapahit. Puteranya tersebut bernama Jayanegara.
Dara Jingga kawin
dengan salah seorang pembesar kerajaan Majapahit dan melahirkan seorang
putera yang nama kecilnya. Aji Mantrolot. Aji Mantrolot ini yang
kemudian dikenal sebagai Adityawarman. Dengan demikian Adityawarman
merupakan keturunan dari dua darah kaum bangsawan, satu darah bangsawan
Sumatera dan satu darah bangsawan Majapahit. Raja Majapahit yang kedua
yaitu Jayanegara adalah saudara sepupu dari Adityawarman.
Mengenai
asal-usul Adityawarman ini, Muhammad Yamin mengatakan bahwa Adityawarman
berasal dari tanah Minangkabau di Pulau Sumatera. Tempat lahirnya
terletak di Siguntur dekat nagari Sijunjung. Diwaktu muda dia berangkat
ke Majapahit, tempat dia dididik disekeliling pusat pemerintahan dalam
suasan keraton Majapahit. Kesempatan yang diperdapatnya itu berasal dari
turunannya. Ayah bundanya mempunyai hubungan darah dengan permaisuri
raja Majapahit yang pertama.
Pendapat Muhammad Yamin mengenai tempat
kelahiran Adityawarman dan hubungan kekeluargaannya dengan Kerajaan
Majapahit diperkuat oleh Pinoto yang mengatakan, bahwa Adityawarman
adalah seorang putera Sumatera yang lahir di daerah aliran Sungai Kampar
dan besar kemungkinan dalam tubuhnya mengalir darah Majapahit. Hubungan
dengan kerajaan Majapahit bersifat geneologis dan politis.
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa Adityawarman dilahirkan di Kerajaan
Melayu atau Minangkabau dan dibesarkan di Kerajaan Majapahit. Di keraton
Majapahit Adityawarman di didik bersama saudara sepupunya Jayanegara
yang kemudian menjadi raja Majapahit yang kedua. Di keraton Majapahit
kedudukan Adityawarman sangat tinggi, yaitu berkedudukan sebagai salah
seorang menteri atau perdana menteri yang diperolehnya bukan saja karena
hubungan darahnya dengan raja Majapahit tetapi juga berkat kecakapannya
sendiri. Tahun 1325 raja Jayanegara mengirim Adityawarman segbagai
utusan ke negeri Cina yang berkedudukan sebagai duta. Bersama dengan
Patih Gajah Mada, Adityawarman ikut memperluas wilayah kekuasaan
Majapahit di Nusantara. Tahun 1331 Adityawarman memadamkan pemberontakan
Sadeng dengan suatu perhitungan yang jitu. Tahun 1332 dia dikirim
kembali menjadi utusan ke negeri Cina dengan kedudukan sebagai duta.
Pada tahun 1334 Adityawarman pulang kembali ke negeri asalnya. Karena
dengan lahir dan menjadi besarnya Hayam Wuruk tidak ada lagi kesempatan
bagi Adityawarman utnuk menjujung mahkota kerajaan Majapahit sebagai
ahli waris yang terdekat.
Adityawarman adalah cucu dari raja Melayu
karena ibunya Dara Jingga adalah anak Tribuana raja Mauliwarmadewa, raja
kerajaan Melayu. Oleh karena itu, Adityawarman berhak atas takhta
kerajaan Melayu tersebut. Timbulnya keinginan Adityawarman untuk
mendirikan kerajaan Melayu yang mandiri, disebabkan karena kegagalan
usaha patih Gajah Mada menguasai selat malaka. Pada tahun 1347
Adityawarman menjadi raja kerajaan Melayu yang dipusatkan di Darmasraya.
Hal ini dapat dibuktikan dengan prasasti yang dipahatkan pada bagian
belakan arca Amogapasa dari Padang Candi. Dalam Prasasti itu
Adityawarman memakai nama : “Udayadityawarman Pratakramarajendra
Mauliwarmadewa” dan bergelar “Maharaja Diraja” dengan memakai gelar
tersebut rupanya Adityawarman hendak menyatakan bahwa dia merupakan raja
yang berdiri sendiri dan tidak ada lagi raja yang berada di atasnya.
Dengan demikian dia sudah bebas dari Majapahit. Sebagai realisasi dari
pernyataan tersebut, maka Adityawarman pada tahun 1349 memindahkan pusat
kerajaan dari Darmasraya ke Pagaruyung di Batusangkar.
Selama
pemerintahannya Adityawarman berusaha membawa kerajaan Pagaruyung ke
puncak kejayaannya. Dalam usaha memajukan kerajaan itu Adityawarman
mengadakan hubungan dengan luar negeri, yaitu dengan Cina. Tahun 1357,
1375, 1376 Adityawarman mengirim utusan ke negeri Cina. Selama masa
pemerintahannya di Pagaruyung yang berlangsung dari tahun 1349 sampai
1376, kerajaan Pagaruyung berada di puncak kejayaannya. Bahkan dapat
dikatakan pada waktu itu Indonesia bagian barat dikuasai kerajaan
Pagaruyung dan Indonesia bagian Timur berada di bawah pengaruh kekuasaan
Majapahit.
Adityawarman sebagai orang yang dididik dan dibesarkan di
Majapahit serta telah pula pernah menjabat beberapa jabatan penting di
kerajaan Majapahit, tentulah paham betul dengan seluk beluk pemerintahan
di Majapahit. Dengan demikian corak pemerintahan kerajaan Majapahit
sedikit banyaknya berpengaruh pada corak pemerintahan Adityawarman di
Pagaruyung. Hal ini ternyata pada prasasti yang ditinggalkan
Adityawarman terdapat nama Dewa Tuhan Perpatih dan Tumanggung yang oleh
Pinoto dibaca Datuk Perpatih Nan Sabatang dan Datuk Ketumanggungan.
Menurut
Tambo kekuasaan Adityawarman hanya terbatas di daerah Pagaruyung,
sedangkan daerah lain di Minangkabau masih tetap berada dibawah
pengawasan Datuk Perpatih Nan Sabatang dan Datuk ketumanggungan dengan
pemerintahan adatnya. Dengan demikian di Pagaruyung Adityawarman dapat
dianggap sebagai lambang kekuasaan saja, sedangkan kekuasaan sebenarnya
tetap berada di tangan kedua tokoh pemimpin adat tersebut, sehingga hal
ini menyebabkan kemudian pengaruh budha yang dibawa ke Pagaruyung tidak
dapat tempat di hati rakyat Minangkabau, karena prinsipnya rakyat
Minangkabau sendiri secara langsung tidak berkenalan dengan
pengaruh-pengaruh tersebut. Disamping itu, selama menjadi raja
Pagaruyung yang mengatur kehidupan masyarakat Minangkabau tetap hukum
Adat Koto Piliang dan Bodi Caniago. Dalam hal ini Tambo mengatakan bahwa
Adityawarman walaupun sudah menjadi raja yang besar, tetap saja
merupakan seorang sumando di Minangkabau, artinya kekuasaannya sangat
terbatas.
Barangkali hal ini memang disengaja oleh Datuk yang berdua
itu, mengingat pada mulanya kekuasaan Adityawarman yang sangat besar
sekali. Agar kehidupan masyarakat Minangkabau jangan terpengaruh oleh
kebiasaan yang dibawa oleh Adityawarman maka kedua Datuk itu memagarinya
dengan pengaturan kekuasaan, Adityawarman boleh menjadi raja yang
sangat besar, tetapi kekuasaannya hanya terbatas di sekitar istana saja,
sedangkan kekuasaan langsung terhadap masyarakat tetap dipegang oleh
mereka. Sesudah meninggalnya Adityawarman yang memang merupakan seorang
raja yang besar dan kuat, kekuasaan kerajaan Pagaruyung mulai luntur.
Kelihatannya dengan pengaturan yang dilakukan oleh Datuk Perpatih Nan
Sabatang berdua dengan Datuk Ketumanggungan tidak memberi kesempatan
kepada pengganti Adityawarman yang menganut agama budha untuk berkuasa
seterusnya.
Adityawarman sebagai raja Pagaruyung merupakan seorang
raja yang paling banyak meninggalkan prasasti. Hampir dua puluh buah
prasasti yang ditinggalkannya. Diantaranya yang telah dibaca seperti
Prasasti Arca Amogapasa, Kuburajo, Saruaso I dan II, Pagaruyung, Kapalo
Bukit Gambak I dan II, Banda Bapahek, dan masih banyak lagi yang belum
dapat dibaca.
Diantara yang telah dapat dibaca itu menyatakan
kebesaran dan kemegahan kerajaan Pagaruyung, barangkali diantara
raja-raja yang pernah ada di Indonesia tidak ada seorang pun yang pernah
meninggalkan prasasti sebanyak yang telah ditinggalkan oleh
Adityawarman. Sayangnya di Minangkabau kebiasaan seperti itu hanya
dilakukan oleh Adityawarman seorang raja. Sebelum dan sesudahnya
Adityawarman tidak ada yang membiasakan sehingga sampai sekarang
kebanyakan data sejarah Minangkabau agak gelap.
Sesudah Adityawarman
meninggal kerajaan Pagaruyung yang tidak lagi mempunyai raja yang
merupakan keturunan darah langsung dari Adityawarman. Sedangkan
Ananggawarman yang dikatakan dalam salah satu prasasti Adityawarman
sebagai anaknya tidak pernah memerintah, karena kekuasaan Adityawarman
langsung digantikan oleh Yang Dipertuan Sultan Bakilap Alam. Dari
sebutan raja itu saja, kelihatannya sesudah Adityawarman raja yang
menggantikannya sudah menganut agama Islam.
Adanya Sultan Bakilap
Alam sebagai raja Minangkabau Pagaruyung dijelaskan oleh Tambo
Minangkabau. Dengan sudah dianutnya agama Islam oleh pengganti
Adityawarman, maka hilang pulalah pengaruh agama Budha yang dianut
Adityawarman di Minangkabau.
Sampai dengan pertengahan abad ke-16
sesudah Adityawarman kita tidak memperoleh keterangan yang lengkap
mengenai kerajaan Pagaruyung. Rupanya sesudah Adityawarman meninggal,
kerajaan Majapahit kembali berusaha untuk menguasai Pagaruyung serata
Selat Malaka. Tetapi usaha tersebut gagal kaena angkatan perang kerajaan
Majapahit yang datang dari arah pantai timur dikalahkan oleh tentara
Pagaruyung dalam pertempuran di Padang Sibusuk tahun 1409.
Akibat
pertempuran Padang Sibusuk itu membawa akibat yang sangat besar dalam
struktur pemerintahan kerajaan Pagaruyung selanjutnya. Semasa
Adityawarman menjadi raja, pemerintahan bersifat sentralisasi menurut
sistem di Majapahit. Tetapi sesudah pertempuran Padang Sibusuk itu,
nagari-nagai di Minangkabau membebaskan diri dari kekuasaan yang
berpusat di Pagaruyung.
A.8. Kerajaan Pagaruyung Sesudah
Adityawarman
Dari berita Tambo Pagaruyung dapat diketahui bagaiman
keadaan Pagaruyung sesudah Adiyawarman demikian pula wawancara dengan
S.M. Taufik Thaib SH. Dikatakan mengenai silisilah raja-raja Pagaruyung
adalah sebagai berikut:
Adityawarman (1339-1376)
Ananggawarman
(1376)
Yang Dipertuan Sultan Bakilap Alam
Yang Dipertuan Sultan
Pasambahan
Yang Dipertuan Sultan Alif gelar Khalifafullah
Yang
Dipertuan Sultan Barandangan
Yang Dipertuan Sultan Patah (Sultan
Muning II)
Yang Dipertuan Sultan Muning III
Yang Dipertuan Sultan
Sembahwang
Yang Dipertuan Sultan Bagagar Syah
Yang Dipertuan Gadih
Reni Sumpur 1912
Yang Dipertuan Gadih Mudo (1912-1915)
Sultan
Ibrahim 1915-1943 gelar Tuanku Ketek
Drs. Sultan Usman 1943 (Kepala
Kaum Keluarga Raja Pagaruyung)
Dari data ini dapat ditarik kesimpulan
bahwa sesudah Adityawarman raja-raja di Pagaruyung sudah menganut agama
Islam sesuai dengan sebutan Sultan (pengaruh Islam).
Bila Sultan
Bakilap Alam memerintah tidak disebutkan oleh tambo tersebut, tetapi
dapat diperkirakan sesudah tahun 1409, karena sampai 1409 pemerintahan
Pagaruyung masih bersifat sentralisasi seperti sewaktu pemerintahan
Adityawarman. Sesudah tahun tersebut pemerintahan Pagaruyung sudah
desentralisasi dengan pengertian bahwa nagari-nagari sudah mempunyai
otonom penuh dan pemerintahan di Pagaruyung sudah mulai melemah.
Selanjutnya
dikatakan bahwa di atas pemerintahan nagari-nagari terlihat adanya dua
tingkat pemerintahan yaitu Rajo Tigo Selo dan Basa Ampek Balai. Rajo
Tigo Selo dimaksudkan adalah tiga orang raja yang sekaligus berkuasa di
bidang masing-masing. Raja Alam berkedudukan di Pagaruyung sebagai pucuk
pimpinan, Raja Adat berkedudukan di Buo yang melaksanakan tugas-tugas
kerajaan dibidang adat. Raja Ibadat berkedudukan di Sumpur Kudus dan
melaksanakan urusan keagamaan kerajaan. Gambaran ini adalah lembaga
pemerintahan di tingkat raja.
Sedangkan ditingkat Menteri dan Dewan
Menteri yang dimaksud dengan Basa Ampek Balai terdiri dari:1. Bandaro
(Titah) di Sungai Tarab sebagai Perdana Menteri2. Tuan Kadi di Padang
Ganting yang mengurus masalah Agama3. Indomo di Saruaso mengurus masalah
keuangan4. Makhudum di Sumanik yang mengurus masalah pertahanan dan
rantau
Masyarakat nagari dalam mengusut persoalannya berjenjang naik
sampai ketingkat kerajaan. Dibidang adat dari nagari terus ke Bandaro
dan kalau tidak putus juga diteruskan lagi kepada Raja Buo dan kalau
tidak putus juga masalahnya diteruskan lagi kepada Raja Alam di
Pagaruyung yang akan memberikan kata putus. Begitu juga dalam bidang
agama. Dari nagari naik kepada tuan Kadi di Padang Ganting, terus kepada
raja Ibadat di Sumpur Kudus, dan bula tidak selesai juga akhirnya
sampai kepada raja Alam yang akan memberikan kata putusnya.
Selanjutnya
dikatakan bahwa Lembaga Rajo Tigo Selo dibentuk bersama dengan
pembentukan Lembaga Basa Ampek Balai. Penobatan dan pelatikan Rajo Tigo
Selo dan Basa Ampek Balai bersamaan pula dengan pengangkatan dan
pengiriman “Sultan Nan Salapan” ke daerah rantau Minangkabau yaitu
daerah-daerah: Aceh, Palembang, Tambusai, Rao, Sungai Pagu, Bandar
Sepuluh, Siak Indra Pura, Rembau Sri Menanti dan lain-lain. Pengangkatan
dan pelantikan itu dilakukan oleh Sultan Bakilap Alam.
Dalam hal ini
Bahar Dt Nagari Basa, mengatakan bahwa Basa Ampek Balai pada mulanya
terdiri dari Bandaro di Sungai Tarap, yang menjadi Payung Panji Koto
Piliang; Datuk Makhudum di Sumanik yang menjadi Pasak Kungkung Koto
Piliang; Indomo di Saruaso yang menjadi Amban Puruak (bendahara) Koto
Piliang; Tuan Gadang di Batipuah yang menjadi Harimau Campo Koto
Piliang, yaitu Menteri Pertahanan Koto Piliang. Kemudian setelah Islam
masuk ke Minangkabau dimasukkan Tuan Kadhi sebagai anggota Basa Ampek
Balai dan “Tuan Gadang” di Batipuh ke luar dari keanggotaan itu dengan
berdiri sendiri sebagai orang yang bertanggung jawab dalam masalah
pertahanan Koto Piliang. Semuanya itu terdapat di Tanah Datar yang
merupakan pucuk pimpinan di Minangkabau. Selanjutnya dikatakan yang
menjadi kebesaran Luhak Agam adalah Parik Paga dan Kebesaran Lima Puluh
Kota adalah Penghulu.
Dari keterangan itu yang dapat diambil
kesimpulan bahwa Lembaga Basa Ampek Balai sudah ada sebelum Islam masuk
ke Minangkabau dengan bukti seperti yang dikatakan oleh Datuk Nagari
Basa dengan susunan yang sedikit berbeda dari apa yang kita kenal
kemudian. Baru sesudah Islam masuk ke Minangkabau kedudukan Tuan Kadhi
diserahkan untuk mengurus masalah agama Islam. Selanjutnya susunan Basa
Ampek Balai dengan Tuan Gadang sudah seperti yang kita kenal sekarang
ini.
Mengenai susunan pemerintahan Pagaruyung sesudah Adityawarman
ini diuraikan dengan lengkap dalam cerita Cindua Mato. Cindua Mato
(Candra Mata) adalah sebuah cerita rakyat Minangkabau yang menggambarkan
tentang keadaan pemerintahan Minangkabau Pagaruyung di zaman
kebesarannya. Walaupun dalam cerita ini mengenai raja-raja yang
diceritakan sudah ada unsur legendanya, tetapi yang mengenai masalah
lainnya sama dengan apa yang dikatakan Tambo.
Menurut Tambo, Basa
Ampek Balai pernah memegang kedudukan Raja Alam yaitu sesudah Sultan
Alif meninggal, karena orang yang akan menggantikan Sultan Alih masih
belum dewasa. Buat sementara dipegang oleh Basa Ampek Balai.
A.9.
Kedatangan Bangsa Barat Ke Minangkabau
Hubungan Minangkabau dengan
bangsa Barat yang pertama kali dilakukan dengan bangsa Portugis. Menurut
berita Portugis, permulaan abad ke 16 ada utusan kerajaan Melayu yang
datang ke Malaka. Kedatangan utusan tersebut adalah untuk membicarakan
masalah perdagangan dengan bangsa Portugis yang waktu itu menguasai
Malaka. Tetapi dengan berhasilnya Aceh menguasai pesisir barat pulau
Sumatera, maka hubungan dagang dengan Portugis itu terputus.
Dengan
bangsa Belanda hubungan Minangkabau terjadi pertama kali kira-kira tahun
1600, diwaktu Pieter Both memerintahkan Laksamana Muda Van Gaedenn
membeli lada ke pantai barat pulau Sumatera. Waktu itu beberapa
pelabuhan yang ada disana menolak permintaan Belanda dibawah kekuasaan
Kerajaan Aceh.
Pada waktu Sultan Iskandar Muda dari kerajaan Aceh
meninggal dunia, maka kekuasaan kerajaan Aceh menjadi lemah, sehingga
mulai tahun 1636 sewaktu Iskandar Muda meninggal dunia, daerah-daerah
Pesisir Barat kerajaan Pagaruyung mulai membebaskan diri dari kekuasaan
Aceh dan melakukan hubungan dagang langsung dengan Belanda, seperti yang
dilakukan oleh raja-raja Batang Kapas, Salido, Bayang di Pesisir
Selatan.
Pada tahun 1641 Belanda merebut Malaka dari Portugis dan
semenjak itu Belanda mulai memperbesar pengaruhnya di pesisir barat
Sumatera untuk menggantikan kerajaan Aceh. Mula-mula Belanda mendirikan
kantor dagangnya di Inderapura terus ke Salido. Kemudian di Pulau
Cingkuak juga didirikan lojinya pada tahun 1664 untuk mengatasi
perlawanan rakyat pesisir yang dikoordinir oleh Aceh.
Untuk
melepaskan pesisir barat pulau Sumatera dari pengaruh Aceh, maka Belanda
melakukan perjanjian dengan raja Pagaruyung yang merupakan pemilik
sesungguhnya dari daerah tersebut. Oleh raja Pagaruyung Belanda
diberikan kebebasan untuk mengatur perdagangannya pada daerah tersebut.
Perjanjian itu dilakukan pihak Belanda dengan Sultan Ahmad Syah pada
tahun 1668.
Mulai saat itu Belanda, melangkah selangkah demi
selangkah menanamkan pengaruhnya di Sumatera Barat dengan jalan politik
pecah belahnya yang terkenal itu. Disatu pihak mereka menimbulkan
perlawanan rakyatnya terhadap raja atau pemimpinnya sesudah itu mereka
datang sebagai juru selamat dengan mendapat imbalan yang sangat
merugikan pihak Minangkabau, sehingga akhirnya seluruh Minangkabau dapat
dikuasai Belanda.
Semenjak abad ke 17 terjadi persaingan dagang yang
sangat memuncak antara bangsa Belanda dengan bangsa Inggris di
Indonesia. Pada tahun 1684 Belanda dapat mengusir Inggris berdagang di
Banten. Sebaliknya Inggris masih dapat bertahan di daerah Maluku dan
menguasai perdagangan di daerah pesisir Sumatera Bagian Barat. Pada
tahun 1786 berhasil menguasai pulau Penang di Selat Malaka sehingga
mereka dapat mengontrol jalan dagang diseluruh pulau Sumatera. Sumatera
mulai dibanjri oleh barang-barang dagang Inggris. Tentu saja hal ini
sangat merugikan pihak Belanda.
Tahun 1780-1784 pecah perang antara
Inggris dan Belanda di Eropa. Peperangan ini merambat pula sampai ke
daerah-daerah koloni yang mereka kuasai di seberang lautan. Pada tahun
1781 Inggris menyerang kedudukan Belanda di Padang dari pusat
kedudukannya di Bengkulu, dan Padang serta benteng Belanda di Pulau
Cingkuak di hancurkan.
Dengan demikian pusat perdagangan berpindah ke
Bengkulu. Setelah terjadi perjanjian antara kerajaan Belanda dengan
kerajaan Inggris maka Inggris terpaksa mengembalikan seluruh daerah yang
sudah direbutnya.
Bangsa Prancis yang pernah datang ke Sumatera
Barat, yaitu ketika bajak laut yang dipimpin oleh Kapten Le Me dengan
anak buahnya mendarat di Pantai Air Manis Padang. Hal ini terjadi pada
tahun 1793. mereka dapat merebut Kota Padang dan mendudukinya selama
lima hari. Setelah mereka merampok kota, mereka pergi lagi. Pada tahun
1795 Inggris merebut Padang lagi, karena terlibat perang lagi dengan
Belanda.
A.10. Pembaharuan oleh Agama Islam
Seperti yang telah
disebutkan pada bagian terdahulu, bahwa pada pertengahan abad ke tujuh
agama Islam sudah mulai memasuki Minangkabau. Namun pada waktu itu
perkembangan Islam di Minangkabau masih boleh dikatakan merupakan usaha
yang kebetulan saja, karena adanya pedagang-pedagang yang beragama Islam
datang ke Minangkabau. Pengaruh Islam pun hanya terbatas pada
daerah-daerah yang didatangi oleh pedagang-pedagang Islam, yaitu di
sekitar kota-kota dagang di pantai Timur Sumatera.
Masuknya agama
Islam itu ada yang secara langsung dibawa oleh pedagang Arab dan ada
yang dibawa oleh Pedagang India atau lainnya, artinya tidak langsung
datang dari negeri Arab. Perkembangan yang demikian berlangsung agak
lama juga, karena terbentur kepentingan perkembangan Politikk Cina dan
Agama Budha.
Di kerajaan Pagaruyung sampai dengan berkuasanya
Adityawarman, agama yang dianut adalah agama Budha sekte Baiwara dan
pengaruh agama Budha ini berkisar di sekitar lingkungan istana raja
saja. Tidak ada bukti-bukti yang menyatakan kepada kita bahwa rakyat
Minangkabau juga menganut agama tersebut.
Secara teratur agama Islam
pada akhir abad ke tiga belas yang datang dari Aceh. Pada waktu itu
daerah-daerah pesisir barat pulau Sumatera dikuasai oleh kerajaan Aceh
yang telah menganut agama Islam. Pedagang Islam sambil berdagang
sekaligus mereka langsung menyiarkan agama Islam kepada setiap
langganannya. Dari daerah pesisir ini, yaitu daerah-daerah seperti Tiku,
Pariaman, Air Bangis dan lain-lain dan kemudian masuk daerah perdalaman
Minangkabau. Masuknya agama Islam ke Minangkabau terjadai secara damai
dan nampaknya agama Islam lebih cepat menyesuaikan diri dengan anak
nagari. Barangkali itulah sebabnya bekas-bekas peninggalan Hindu dan
Budha tidak banyak kita jumpai di Minangkabau, karena agama itu tidak
sampai masuk ketengah-tengah masyarakat, tetapi hanya disekitar istana
saja. Habis orang-orang istana itu, maka habis pulalah bekas-bekas
pengaruh Hindu dan Budha.
Perkembangan agama Islam menjadi sangat
pesat setelah di Aceh diperintah oleh Sultan Alaudin Riayat Syah Al
Kahar (1537-1568 ), karena Sultan tersebut berhasil meluaskan wilayahnya
hampir ke seluruh pantai barat Sumatera.
Pada permulaan abad ketujuh
belas, seorang ulama dari golongan Sufi penganut Tarikat Naksabandiyah
mengunjungi Pariaman dan Aceh. Kemudian beberapa lama menetap di Luhuk
Agam dan Lima Puluh Kota. Juga dalam ke abad ke-17 itu di Ulakan
Pariaman bermukim seorang ulama Islam yang bernama Syeh Burhanuddin,
murid dari Syeh Abdurauf yang berasal dari Aceh. Syeh Burhanuddin adalah
penganut Tarikat Syatariah.
Murid-murid Syeh Burhanuddin itulah yang
menyebarkan agama Islam di pedalaman Minangkabau dan mendirikan pusat
pengajian di Pamansiangan Luhak Agam. Sebaliknya ulama-ulama dari Luhak
Agam ini pergi memperdalam ilmunya ke Ulakan Pariaman, yaitu tempat yang
dianggap sebagai pusat penyebaran dan penyiaran Islam di Minangkabau.
Dari Luhak Agam inilah nanti lahir ulama-ulama besar yang akan membangun
agama Islam selanjutnya di Minangkabau seperti Tuanku Nan Tuo dari
daerah Cangkiang Batu Taba Ampek Angkek Agam. Tuanku Imam Bonjol sendiri
merupakan salah seorang murid Tuanku Nan Renceh Kamang Mudiak Agam.
Pada
awalnya agama Islam di Minangkabau tidak dijalankan secara ketat,
karena disamping melaksanakan agama Islam para penganut juga masih
menjalankan praktek-praktek adat yang pada dasarnya bertentangan dengan
ajaran agama Islam itu sendiri.
Keadaan ini ternyata kemudian setelah
datangnya beberapa orang ulama Islam dari Mekkah yang menganut paham
Wahabi. Yaitu suatu paham dimana penganut-penganutnya melaksanakan
ajaran Islam secara murni. Di tanah Arab sendiri tujuan gerakan kaum
Wahabi adalah utnuk membersihkan Islam dari Anasir-anasir bid’ah. Kaum
Wahabi menganut Mazhab Hambali dan bertujuan kembali kepada pelaksanaan
Islam berdasarkan Qur’an dan Hadist.
Pada waktu beberapa ulama di
Minangkabau, seperti Tuanku Pamansiangan, Tuanku Nan Tuo di Cangkiang,
Tuanku Nan Renceh dan lain-lain juga sudah melihat ketidak beresan dalam
pelaksanaan praktek ajaran Islam di Minagkabau dan ingin melakukan
pembersihan terhadap hal tersebut, tetapi mereka belum menemukan
bagaimana caranya yang baik. Baru pada tahun 1803 dengan kembalinya tiga
orang haji dari Mekkah, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji
Piobang, sesudah mereka itu menceritakan bagaimana yang dilakukan oleh
gerakan Wahabi disana (di Makkah).
Untuk melaksanakan pembersihan
terhadap ajaran agama Islam itu Tuanku Nan Renceh membentuk suatu badan
yang dinamakan “Harimau Nan Salapan” terdiri dari delapan orang tuanku
yang terkenal pada waktu itu di Minangkabau. Diakhir tahun 1803 mereka
memproklamirkan berdirinya gerakan Paderi dan mulai saat itu mereka
melancarkan gerakan permurnian agama Islam di Minangkabau.
Mula-mula
Paderi memulai gerakan pembersihannya di daerah Luhak Agam yang tidak
terlalu lama telah mereka kuasai, dengan berpusat di Kamang Mudik.
Selanjutnya gerakan Paderi melancarkan kegiatannya ke daerah Lima Puluh
Kota dan di daerah ini mereka mendapat sambutan yang baik dari rakyat
Lima Puluh Kota.
Gerakan kaum paderi baru mendapat perlawanan yang
berat dalam usahanya di Luhak Tanah Datar, karena pada waktu itu Luhak
Tanah Datar masih merupakan pusat kerajaan Pagaruyung yang mempunyai
kebiasaan-kebiasaan tertentu secara tradisional. Tetapi berkat kegigihan
para pejuiang paderi akhirnya daerah Luhak Tanah Datar dapat juga
diperbaharui ajaran Islam nya berdasarkan Qur’an dan Hadist, selanjutnya
gerakan kaum paderi mulai meluas ke daerah rantau.
Pada waktu itu di
daerah Pasaman muncul seorang ulama besar yang membawa rakyatnya ke
arah pembaharuan pelaksanaan ajaran Islam sesuai dengan Alquran dan
Hadist Nabi. Karena gerakannya berpusat di Benteng Bonjol maka ulama
tersebut akhirnya terkenal dengan nama Tuanku Imam Bonjol, yang
semulanya terkenal dengan nama Ahmad Sahab Peto Syarif.
Setelah di
daerah Minangkabau dapat diperbaharaui ajaran Islamnya oleh kaum paderi,
maka gerakan selanjutnya menuju keluar daerah Minangkabau, yaitu ke
daerah Tapanuli Selatan yang akhirnya juga dapat dikuasai dan
menyebarkan ajaran Islam di sana.
Setelah Tuanku Nan Renceh meninggal
tahun 1820, maka pimpinan gerakan paderi diserahkan kepada Tuanku Imam
Bonjol dan diwaktu itu gerakan paderi sudah dihadapkan kepada kekuasaan
Belanda yang semenjak tahun 1819 sudah menerima kembali daerah
Minangkabau dari tangan Inggris.
Karena terjadinya perbenturan kedua
kekuatan di Minangkabau yaitu antara kekuatan paderi di satu pihak yang
berusaha dengan sekuat tenaga menyebarkan agama Islam secara murni
dengan kekuatan Belanda di lain pihak yang ingin meluaskan pengaruhnya
di Minangkabau maka terjadilah ketegangan antara kedua kekuatan itu dan
akhirnya terjadi perang antara kaum paderi dengan Belanda di
Minangkabau. Perang ini terjadi antara tahun 1821-1833. pada akhirnya
rakyat Minangkabau melihat bahwa kekuatan Belanda tidak hanya ditujukan
kepada gerakan kaum paderi saja, maka pada tahun 1833 rakyat Minangkabau
secara keseluruhannya juga mengangkat senjata melawan pihak Belanda.
Perang ini berlangsung sampai tahun 1837.
Tetapi karena kecurangan
dan kelicikan yang dilakukan pihak Belanda akhirnya peperangan itu dapat
dimenangkan Belanda, dalam arti kata semenjak tahun 1837 itu seluruh
daerah Minangkabau jatuh ke bawah kekuasaan pemerintah Hindia Belanda.
Dari
masa inilah Minangkabau di rundung duka yang dalam, karena menjadi anak
jajahan Belanda. Tuanku Imam ditangkap Belanda dengan tipu muslihat,
dikatakan untuk berunding tetapi nyatanya Belanda menangkap beliau,
dibuang semula ke Betawi, tinggal di Kampung Bali, selanjutnya
dipindahkan ke Menado. Ditempat yang sangat jauh dari kampung halaman,
badan yang telah sangat tua itu akhirnya dihentikan Tuhan Dari
penderitaan yang berat, berpulanglah seorang Patriot Islam Minangkabau
dirantau orang.
Beliau telah berjuang sekuat tenaga menegakkan Syiar
Islam di Ranah Minangkabau tercinta ini, jasatnya terbujur disebuah desa
kecil yang sepi bernama “Lotak” nun jauh diujung pulau Selebes,
harapannya kepada kita semua anak Minangkabau, lanjutkan perjuangan
beliau dengan menegakkan akidah Islam dalam kehidupan sehari-hari,
jawabnya barangkali yang paling tepat bagi kita sekarang, ” Mari kita
berbenar-benar menegakkan Adat Basandi Syarak-syarak Basandi Kitabullah “
dalam kehidupan kita.
0 Responses so far.
Posting Komentar